Sabtu, 06 November 2010

KONSEP PEMBAHARUAN PENDIDIKAN K.H. IMAM ZARKASYI

A. BIOGRAFI SINGKAT K.H. IMAM ZARKASYI
K.H. Imam Zarkasyi lahir di desa Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M. Belum genap usia beliau 16 tahun, Imam Zarkasyi muda mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegal sari. Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Ongkoloro (1925), beliau melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama beliau juga belajar di Sekolah Mamba’ul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh K.H. M. O. Al-Hisyami, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut (terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah) beliau  sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab.
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan mengarahkan Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat, sampai tahun 1935.
Setelah tamat belajar di Kweekschool, beliau diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi yang dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping itu, kakaknya Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.
Setelah menyerahkan jabatannya sebagai direktur Pendidikan Kweekschool kepada Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Selanjutnya pada tahun 1943 beliau diminta untuk menjadi kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, beliau pernah aktif membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di Cibarusa, Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, Imam Zarkasyi juga aktif dalam membina Departemen Agama R.I. khususnya Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu itu menterinya adalah Prof.Dr.H.M.Rasyidi. Tenaga dan pikirannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika Ki Hajar Dewantoro menjabat sebagai menterinya.
Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki Imam Zarkasyi di tengah kesibukannya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Gontor adalah sebagai Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dari anggota Komite Penelitian Pendidikan pada tahun 1946. Selanjutnya selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu dipegang oleh K.H.E.Z. Muttaqin. dan selanjutnya beliau menjadi penasehat tetapnya.
Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama (1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Imam Zarkasyi diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno.
Dalam percaturan internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet, pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth al-Islamiyah (Mu’tamar Akademisi Islam se-Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
Pada tanggal 30 April 1985 pukul 21.00 WIB beliau meninggal dunia di Rimah Sakit Umum madiun.beliau meninggalkan seorang istri dan 11 orang putra-putri.
Selain dikenal sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga ternyata seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Dalam kaitan ini, beliau banyak sekali meninggalkan karya ilmiah yang hingga saat ini masih dapat dinikmati. Ini sesuai dengan niatan beliau pada awwal dibukanya KMI tahun 1936, beliau berkata: “seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.”
Di antara karya tulis Imam Zarkasyi adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam. Ketiga buku tersebut ditulis bersama K.H. Zainuddin Fannani. Selanjutnya ia menulis Ushuluddin (pelajaran Aqo’id atau Keimanan), Pelajaran Fiqih I dan II, Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Qowaidul imla’, Pelajaran Bahasa Arab I dan II berikut kamusnya, Tamrinat I, II dan III, beserta kamusnya dan buku-buku pelajaran lainnya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk teknik bagi para santri dan guru di Pondok Darussalam Gontor dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini masih dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan pondok-pondok pesantren alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.
B. GAGASAN DAN CITA-CITA PEMBAHARUAN K.H. IMAM ZARKASYI
Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di Indonesia lembaga pendidikan pesantren kurang mengalami kemajuan dikarenakan situasi penjajahan. Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Pesantren dengan corak yang modern, K.H. Imam Zarkasyi bersama pendiri Pondok Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kaji dalam rangka studi banding yang kemudian dikenal sebagai “Sintesa Pondok Modern”.
Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir, merupakakan sebuah lembaga pendidikan swasta, dengan kekayaan wakafnya yang luarbiasa, mampu bertahan bahkan berperan dalam apapun dalam perubahan waktu dan massa. Al-Azhar ini bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dam keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dari pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya, juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Universitas ini dikenal sebagai pelopor pendidikan modern dan revival of Islam. Keempat, masih juga di India, yaitu Perguruan Shantiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Keempat lembaga pendidikan yang dikaji itu selanjutnya menjadi idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan per paduan atau sintesa dari Keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong mazhab Ahlussunah waljama’ah yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia.
Selain itu, gagasan untuk memberikan warna baru terhadap Gontor juga diilhami oleh peristiwa dari Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1926. Kongres tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia seperti HOS. Cokroaminoto, Mas Mansyur, H. Agus Salim, dan lain-lain. Dalam kongres tersebut diputuskan agar ummat Islam Indonesia mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diadakan di Mekkah. Namun yang menjadi masalah adalah di sekitar siapa yang ditunjuk menjadi utusannya. Sedangkan kriteria utusan yang dapat hadir adalah orang yang mahir sekurang-kurangnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari sekian banyak peserta muktamar, tak seorang pun yang memiliki kemampuan kedua bahasa tersebut. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu HOS Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan K.H. Mas Mansyur yang menguasai bahasa Arab.
Peristiwa tersebut memberikan kesan mendalam kepada K.H. Ahmad Sahal yang hadir sebagai peserta dalam kongres tersebut. Kesan-kesan itu menjadi topik diskusi serius bersama K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fannani, dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga pendidikan yang akan dibina pada waktu-waktu selanjumya. Sejalan dengan ini, K.H. Imam Zarkasyi kemudian mencita-citakan bahwa pesantren Gontor nantinya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mampu mencetak kader-kader Muslim yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris sekaligus.
Namun demikian, K.H. Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menemukan filsafat hidup para santrinya. Pada seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan Panca Jiwa Pondok Modern. Kelima jiwa ini adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help); ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas. Yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih pamrih (tidak karena didorong keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu), semata mata untuk ibadah karena Allah. Sedangkan yang dikehendaki dengan jiwa kesederhanaan adalah bahwa dalam kehidupan di pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan, tetapi tetapi agung. Sederhana bukan berarti pasif atau narimo (pasrah), dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian, di balik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur. Sementara itu yang dimaksud dengan kesanggupan menolong diri sendiri adalah berdikari, bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasih orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ukhuwah Islamiyah adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren harus diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab, sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas. Selanjutnya yang dimaksud dengan jiwa bebas adalah bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menemukan masa depan. Para santri harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan. Jiwa inilah yang dibawa oleh santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di Masyarakat. Dan jiwa Pondok Pesantren inilah yang harus senantiasa dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Selain prinsip dan jiwa tersebut di atas, K.H. Imam Zarkasyi juga memiliki pandangan bahwa pada masa kemerdekaan pondok pesantren sudah seharusnya menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mempertahankan kebemdaannya. Untuk itu dipadukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman, dan untuk ini pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang menguntungkan pula, tanpa harus mengubah inti ajaran agama. Kedua, jika diperlukan pondok pesantren dapat terus mempertahankan kehidupannya dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meninggikan mutu pendidikan dan pengajarannya. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi. Diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup matinya kyai pendiri pesantren tersebut. Untuk memelihara kelangsungan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikannya. Keempat, perlunya tata cara penyelenggaran pondok pesantren dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memperbaharui keadaan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat tradisional Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pondok pesantren dapat diatur dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, termasuk di dalamnya batas-batas hak dan kewajiban kyai, para santri dan pondok Pesantren itu sendiri.
Langkah-langkah itulah yang dinilai oleh K.H. Imam Zarkasyi sebagai dasar yang dapat menjamin kelangsungan dan perkembangan sebuah lembaga pendidikan pesantren di masa mendatang. Pikiran-pikiran ituah yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi di lembaga pendidikan yang dipimpinnya, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
C. KONSEP PENDIDIKAN K.H. IMAM ZARKASYI
K.H. Imam Zarkasyi bersama dengan dua orang saudaranya merintis suatu lembaga pesantren yang bercorak modern sehingga dapat dikategorikan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi konsep pembaharuan pemikiran K.H. Imam Zarkasyi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren. Keempat konsep pembaharuan Pemikiran Imam Zarkasyi ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
C.1. Pembaharuan Metode dan sistem Pendidikan
Walaupun Gontor dinilai sangat konsekwen memegang ajaran az-Zarnuji tetapi sistem pengajaran dan pendidikan berbeda. Dalam hal ini az-Zurjani mengenalkan sistem “individual” dan cara “halaqah”. Dan hal ini bertentangan dengan metode dan sistem pendidikan yang diterapkan di Gontor yaitu sistem pendidikan “klasikal” yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sistem “klasikal” ini dinilai sebagai bentuk pembaharuan dikarenakan sistem pendidikan dan pengajaran berbeda dengan pesantren model lama. Hal ini ditempuh oleh Imam Zarkasyi dalam rangka menerapkan efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu. Keinginan untuk memperbaiki prosedur-prosedur pengajaran agar menjadi lebih efektif, tidak dapat tidak menghendaki adanya sejumlah perombakan terhadap sistem pengajaran yang selama ini dianut oleh pesantren tradisional.
Di samping dengan menggunakan sistem “kasikal”, Imam Zarkasyi juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para santri memiliki kegiatan lain di luar jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri (student government). Dalam mengerjakan semua aktivitas itu, santri diharuskan tetap tinggal di pondok pesantren (boarding school).
Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh K.H. Imam Zarkasyi, karena selain untuk tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan efektif.
Sehubungan dengan pencapaian tujuan dan berjalannya sistem pendidikan tersebut, maka di Gontor jam-jam belajar diatur secara ketat, bahkan untuk ini para santri tidak diperkenankan memasak sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu. Kegiatan para santri sehari-hari diawali dengan bangun pagi, sembahyang subuh secara berjamaah dan membaca al-Qur`an. Usai mengaji dilanjutkan dengan latihan berbahasa lnggris yang dilakukan oleh para tutor (baca: pengurus), yaitu para santri senior. Setelah itu para santri segera harus menyiapkan waktu untuk belajar di kelas, mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30 dengan istirahat sebanyak dua kali. Keluar dari kelas semua santri harus shalat Dzuhur berjamaah di Masjid, dilanjutkan dengan makan siang. Pukul 14.00 tepat bel berbunyi lagi untuk menandai kegiatan pelajaran kelas yang kedua kalinya bagi santri kelas IV ke bawah yang dibimbing oleh santri senior (baca: kelas V dan VI) selama satu jam.  Setelah shalat Ashar berjamaah santri baru diperbolehkan melakukan kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, kesenian, keterampilan dan sebagainya. Untuk ini mereka bebas memilih kegiatan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya masing-masing.
Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu terus berlangsung di Pondok Modern Gontor hingga saat ini, dan hal itu berlangsung secara alamiah dengan disiplin yang ketat, tanpa ada peraturan tertulis. Dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, peraturan harus diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri atau dlomir (baca: hati kecil) yang seharusnya dijadikan pedoman santri untuk membangun kehidupan sosialnya di dalam pesantren. Perpaduan antara day school system dengan sistem asrama yang diterapkan K.H. Imam Zarkasyi secara sekilas memang kelihatan menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu pengkajian kitab-kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Namun dalam kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-kelas. Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama. Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh K.H. Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub (baca: membuka buku-buku).
Di samping itu, K.H. Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul Mu’in, I’anatul Thalibin dan sebagainya.
C.2. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% agama dan 100% umum. Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan di pesantren tradisional, K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penekanan bahasa ini memakai metode langsung (direct method). Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada penguasaan kosakata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan mengarang dalam bahasa Arab dengan perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak kelas IV. Demikian halnya dengan bahasa Inggris, Grammar barn diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi bahasanya sudah diajarkan dari sejak kelas I.
Khusus pengajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan ram memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempuma, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa. Dalam penguasaan bahasa ini, K.H. Imam Zarkasyi menetapkan semboyan Al-kalimah al-wabidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin wabidah (kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja). Namun demikian kemampuan dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan tersebut  tetap harus didasarkan pada asas, jiwa dan kepribadian moral yang tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut, kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi sedemikian rupa untuk membedakan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.
Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti etiket atau tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan pakaian. Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
C.3. Pembaharuan Struktur dan Manajemen Pesantren
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, K.H. Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendidikan pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan Pondok Modern Gontor menjadi miliki ummat Islam, dan semua ummat Islam bertanggung jawab atasnya.
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf, untuk ini Badan Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan.
Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai dan guru-guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian, pengajaran jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif.
C.4. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, bahwa setiap santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurusi kepentingannya sendiri serta bebas menemukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independent dan tidak bergantung pada pihak lain. Prinsip kemandirian tersebut bertolak darn upaya menghindari dari kenyataan di mana kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu.
Gagasan independen Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan.
Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut, di Gontor para santri diberi kebebasan memilih pilihan-pilihan mata pelajaran yang ada. Dalam pelajaran hukum Islam misalnya, kitab yang diajarkan adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ulama Besar Ibn Rusyd yang hidup pada abad ke-12 M. Ulama yang dikenal sebagai komentator Aristoteles ini menulis bukunya dengan pendekatan kompantif (perbandingan mazhab). Hal ini merupakan salah satu cermin, di mana paham keagamaan para santri berada di atas semua golongan mazhab Ahlu Sunnah Waljama’ah. Dengan demikian, semua mazhab diajarkan kepada para murid tinggal terserah mereka mau memilih mazhab mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan misalnya, para santri bebas apakah akan membaca qunut atau tidak.
Selanjutnya kemandirian pondok pesantren Gontor ini terlihat dari adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya kelak. K.H. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.
D. KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan tentang pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Setelah menyimak pembahasan ini, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang diambil dari gagasan pembaharuan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor, diantaranya:
  1. K.H. Imam Zarkasyi adalah salah satu pendiri Pondok Modern Gontor, beliau mengenalkan sistem “Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah” disamping itu beliau menilai bahwa selain kurikulum ada hal penting yang harus ada pada suatu pesantren, yaitu jiwa yang menjiwai kehidupan pondok pesantren tersebut, yang kemudian dikenal sebagai: Panca jiwa Pondok Modern, meliputi: Kelima jiwa ini adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help); ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas.
  2. Pondok Modern adalah satu sistem pendidikan yang memadukan antara “model lama” (baca: individu atau halaqah) dan sistem “madrasah” (baca: klasikal)
  3. Konsep pembaharuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi dibagi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren.

ISTIQOMAH

اْلإِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ
“Istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah”. (Imam Ghazali)

Sungguh hebat derajat istiqamah melebihi dari seribu karamah. Memang apa istiqamah dan karamah itu?”
Kata Istiqamah berasal dari kata إِسْتَقَامَ, artinya mempunyai pendirian yang mantap——tegak lurus— dan teguh. Secara umum istiqamah berarti bersikap berpegang teguh kepada sesuatu yang diyakini kebenarannya, dan ia tidak mau merubah keyakinannya itu dalam keadaan bagaimanapun, baik ia dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan sendiri atau ketika bersama dengan orang lain.
Sikap istiqamah——teguh dalam pendirian— akan mewarnai sikap seorang muslim, pendiriannya tidak mudah goyah, dan tidak mudah berubah. Jika seorang penuntut ilmu bersikap seperti itu mengerjakan kewajibannya sebagai penuntut ilmu dengan keteguhan hati dan berpendirian yang kuat pastilah akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Istiqamah terbagi lima macam, yaitu:
1)      Istiqamah lidah, tetap ingat (dzikir kepada Allah) dengan mengucapkan syukur atas segala nikmatnya.
2)      Istiqamah badan, membiasakan diri kita menaati segala perintah Allah (taqwa), memiliki perasaan malu kepada Allah.
3)      Istiqamah hati, senantiasa takut kepada Allah, tidak berputus asa, baik ketika waktu sehat maupun dalam waktu sakit, dan husnudzan (baik sangka) kepada Allah.
4)      Istiqamah jiwa, selalu benar dan suci jiwa dari kenistaan.
5)      Istiqamah hidup, seluruh hidup kita ditujukan untuk memperoleh kemuliaan dari Allah.

Dengan cara yang dikemukakan di atas pasti kita akan mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Firman Allah Swt:

          “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:"Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:"Janganlah kamu takut dan  janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang   telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat: 30).

Ayat di atas menyatakan bahwa orang yang teguh pendiriannya mengakui hanya Allah sebagai Tuhannya, serta akan mendapat ketenangan hidup, hilang rasa takut, sedih, putus asa, dan lain sebagainya.
Jadi, kita sebagai umat Islam harus mempunyai keteguhan hati dalam meyakini kebenaran agama Islam. Lebih dari itu, sebagai penuntut ilmu agama yang menjadi pewaris para nabi dan rasul.
Secara umum istiqamah sudah dijelaskan di atas yang pada intinya mengerjakan suatu pekerjaan yang baik (benar) dengan keteguhan hati dan terus menerus untuk mencari keridhaan Allah Swt. Seorang penuntut ilmu yang tekun belajar dengan mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti membaca, menghafal, diskusi, dan beribadah, serta berdoa dengan terus-menurus untuk mencapai tujuan dengan tetap mengharapkan keridhaan Allah Swt. Istiqamah bukan berarti seseorang mengerjakan pekerjaan yang baik dengan macam-macam pekerjaan (banyak bekerja), akan tetapi selanjutnya tidak mengerjakan sama sekali. Walaupun pekerjaan yang baik——benar— itu seolah-olah biasa, tapi dikerjakan dengan kontinue itulah istiqamah. Dan sungguh luar biasa jika kita mendapatkan derajat istiqamah tersebut.
Rasulullah Saw, bersabda :

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلىَ اﷲِأَدْومُهَا وَإِنْ قَلَّ (رواه الشيخان عن عائشة
Pekerjaan-pekerjaan (yang baik) yang lebih disukai Allah adalah pekerjaan yang terus-menerus (dawwam) dikerjakan walaupun pekerjaan itu     sedikit”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah). 

Berbicara mengenai ucapan Imam Ghazali di atas, cukup menarik untuk dikaji. Tentang derajat istiqamah yang lebih baik dari seribu karamah. Dan yang menarik disini adalah lebih baik dari seribu karamahnya. Kemudian apa derajat karamah itu?
Sebelum membahas lebih lanjut tentang karamah mungkin kita pernah tahu pada pelajaran Aqidah, bahwa pada sebagian rasul-rasul memiliki kelebihan dan keistimewaan atau yang disebut dengan Mu’jizat, yang mempunyai arti suatu kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang dapat melemahkan segala usaha dan alasan orang kafir. Mu’jizat tidak dapat dipelajari. Dan mu’jizat datang seketika tidak direncanakan. Dan pada dasarnya mu’jizat berfungsi untuk melemahkan usaha-usaha orang yang akan menentang seruan para rasul. Dan mu’jizat sebagai bukti kebenaran bahwa rasul benar-benar dipilih Allah.
Mu’jizat ada dua macam, pertama Mu’jizat Kauniyah. Yaitu mu’jizat yang tampak, dapat ditangkap oleh panca indera, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Nabi Musa a.s. tongkat berubah menjadi ular. Mu’jizat ini ada yang menyebut mu’jizat terbatas. Kedua, Mu’jizat Aqliyah. Yaitu mu’jizat yang hanya dapat difahami oleh akal pikiran, seperti mu’jizatnya Nabi Muhammad Saw, yaitu Al-Qur’an. Keluarbiasaannya adalah dari segi sastranya. Tidak ada seorang pun yang dapat menandinginya. Mu’jizat seperti ini ada yang menyebutnya mu’jizat tidak terbatas. Dan disini saya tidak menceritakan semua kisah-kisah rasul yang mendapatkan mu’jizat-mu’jizat tersebut.
Selanjutnya kejadian luar biasa selain mu’jizat adalah karamah. Inti dari pembahasan kita mangenai keistimewaan istqamah. Karamah berarti kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang saleh dan taat kepada-Nya. Orang saleh yang tinggi ketaatannya kepada Allah disebut Wali Allah (kekasih Allah). Dengan kata lain kejadian luar biasa tersebut diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Dari penjelasan-penjelasan itu kita dapat mengetahui adanya perbedaan serta persamaan antara mu’jizat dengan karamah. Adapun perbedaan itu adalah mu’jizat hanya diberikan kepada nabi dan rasul saja, sedangkan karamah diberikan kepada selain nabi dan rasul. Kemudian fungsi mu’jizat bagi nabi dan rasul yaitu untuk membuktikan kenabian dan kerasulannya, sekaligus untuk melemahkan orang-orang kafir yang bermaksud jahat. Dan karamah diberikan Allah kepada orang mukmin yang saleh berfungsi untuk melindungi mereka dari bahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan. Adapun persamaan antara mu’jizat dan karamah yaitu sama-sama datang dan atas kehendak Allah Swt. Kemudian sama-sama merupakan kejadian luar biasa yang sulit diterima oleh akal. Kejadiannya sama-sama tidak direncanakan, terjadi dengan tiba-tiba, tidak bisa dipelajari dan tidak bisa dikalahkan. Dan sama-sama diberikan untuk mengatasi problem dan menolong hamba-Nya.
Dan perlu diketahui salain itu ada kejadian lain yang luar biasa tapi bukan atas pertolongan Allah melainkan pertolongan syetan. Kejadian yang luar biasa itu adalah sihir. Sihir biasanya digunakan untuk maksud-maksud jahat. Sihir dapat dipelajari akan tetapi sihir dapat dikalahkan.
Setelah kita ketahui penjelasan-penjelasan tersebut jelas menyatakan bahwa derajat istiqamah memang sangat luar biasa. Sebagai penuntut ilmu mari kita berusaha belajar yang baik dan istiqamah. Semoga kita mendapatkan derajatnya. Amin.
Ulama yang lain berkata bahwa istiqamah adalah konsisten dengan ketaatan pada Allah.
Rasulullah Saw, mengabarkan bahwasanya manusia tidak akan bisa untuk istiqamah dengan sebenar-benarnya istiqamah. Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw bersabda: “Lakukanlah semisalnya dan dekatilah.” Melakukan sebagaimana yang rasulullah Saw lakukan adalah hakikat istiqamah. Seperti melemparkan sesuatu dan tepat pada sasaran. Berusaha mendekati maksud dan sasaran itu walau tidak tercapai, usaha tersebut harus tetap dilandaskan pada kesungguhan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Istiqamah yang paling utama adalah istiqamahnya hati dalam bertauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan lainnya tentang firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan;”Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka; yaitu mereka tidak berpaling kepada selain Allah.
Hati yang istiqamah dalam cinta, takut, harap dan tawakkal akan memengaruhi semua anggota tubuh untuk istiqamah pada-Nya. Karena hati adalah raja dalam tubuh sedangkan anggota tubuh adalah tentaranya akan turut istiqamah pula. Setelah hati, lisan juga sangat perlu untuk diistiqamahan karena lisan inilah yang mengungkapkan isi hati. Oleh karena itu. Nabi Saw, bersabda: “iman seorang hamba tak akan lurus sampai hatinya istiqamah dan hati tak akan istiqamah sampai lisan istiqamah”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:”janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).

BIOGRAFI SUNAN KALIJAGA

 banyak disebut masyarakat Jawa. Beliau adalah legenda nyata dari tumbuh dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa.

Sayangnya, namanya sering dikaitkan dengan mistisme Jawa alias Kejawen. Benarkan ‘Kejawenisme’ merupakan buah pemikiran Sunan Kalijaga? Siapakah Sunan Kalijaga? Dari mana nama ‘Kalijaga’ berasal? Mari kita bangun perspektif yang benar tentang sosok ini.

Ada beragam versi tentang nama asli Kalijaga. Sejumlah sumber mengatakan bahwa nama asli Sunan Kalijaga ialah ‘Lokajaya’. Sumber lain ada yang menyebut bahwa nama aslinya ‘Raden Abdurrahman’ atau ada juga yang mengatakan bahwa namanya ialah ‘Raden Joko Said’ atau ‘Raden Jaka Syahid’. Pendapat yang terakhir merupakan riwayat yang paling mashyur. Nama Raden Joko Said ialah nama yang dikenal secara turun-temurun oleh para penduduk Tuban hingga masa kini.

Joko Said dilahirkan sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban. Arya Wilatikta ini adalah keturunan dari pemberontak legendaris Majapahit, Ronggolawe. Riwayat masyhur mengatakan bahwa Adipati Arya Wilatikta sudah memeluk Islam sejak sebelum lahirnya Joko Said. Namun sebagai Muslim, ia dikenal kejam dan sangat taklid kepada pemerintahan pusat Majapahit yang menganut Agama Hindu. Ia menetapkan pajak tinggi kepada rakyat.

Joko Said muda yang tidak setuju pada segala kebijakan Ayahnya sebagai Adipati sering membangkang pada kebijakan-kebijakan ayahnya. Pembangkangan Joko Said kepada ayahnya mencapai puncaknya saat ia membongkar lumbung kadipaten dan membagi-bagikan padi dari dalam lumbung kepada rakyat Tuban yang saat itu dalam keadaan kelaparan akibat kemarau panjang.

Karena tindakannya itu, Ayahnya kemudian ‘menggelar sidang’ untuk mengadili Joko Said dan menanyakan alasan perbuatannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Joko Said untuk mengatakan pada ayahnya bahwa, karena alasan ajaran agama, ia sangat menentang kebijakan ayahnya untuk menumpuk makanan di dalam lumbung sementara rakyatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.

Ayahnya tidak dapat menerima alasannya ini karena menganggap Joko Said ingin mengguruinya dalam masalah agama. Karena itu, Ayahnya kemudian mengusirnya keluar dari istana kadipaten seraya mengatakan bahwa ia baru boleh pulang jika sudah mampu menggetarkan seisi Tuban dengan bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Maksud dari ‘menggetarkan seisi Tuban’ di sini ialah bilamana ia sudah memiliki banyak ilmu agama dan dikenal luas masyarakat karena ilmunya.

Riwayat masyhur kemudian menceritakan bahwa setelah diusir dari istana kadipaten, Joko Said berubah menjadi seorang perampok yang terkenal dan ditakuti di kawasan Jawa Timur. Sebagai Perampok, Joko Said selalu ‘memilih’ korbannya dengan seksama. Ia hanya merampok orang kaya yang tak mau mengeluarkan zakat dan sedekah.

Dari hasil rampokannya itu, sebagian besarnya selalu ia bagi-bagikan kepada orang miskin. Kisah ini mungkin mirip dengan cerita Robin Hood di Inggris. Namun itulah riwayat masyhur tentang beliau. Diperkirakan saat menjadi perampok inilah, ia diberi gelar ‘Lokajaya’ artinya kurang lebih ‘Perampok Budiman’.

Semuanya berubah saat Lokajaya alias Joko Said bertemu dengan seorang ulama , Syekh Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Sunan Bonang inilah yang kemudian mernyadarkannya bahwa perbuatan baik tak dapat diawali dengan perbuatan buruk –sesuatu yang haq tak dapat dicampuradukkan dengan sesuatu yang batil- sehingga Joko Said alias Lokajaya bertobat dan berhenti menjadi perampok. Joko Said kemudian berguru kepada Sunan Bonang hingga akhirnya dikenal sebagai ulama dengan gelar ‘Sunan Kalijaga’.

Sejarah Nama 'Kalijaga'

Pertanyaan ini masih menjadi misteri dan bahan silang pendapat di antara para pakar sejarah hingga hari ini. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.

Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Ini dihubungkan dengan kebiasaan wong Cerbon untuk menggelari seseorang dengan daerah asalnya –seperti gelar Sunan Gunung Jati untuk Syekh Syarif Hidayatullah, karena beliau tinggal di kaki Gunung Jati.

Fakta menunjukan bahwa ternyata tidak ada ‘kali’ di sekitar dusun Kalijaga sebagai ciri khas dusun itu. Padahal, tempat-tempat di Jawa umumnya dinamai dengan sesuatu yang menjadi ciri khas tempat itu.

Misalnya nama Cirebon yang disebabkan banyaknya rebon (udang), atau nama Pekalongan karena banyaknya kalong (Kelelawar). Logikanya, nama ‘Dusun Kalijaga’ itu justru muncul setelah Sunan Kalijaga sendiri tinggal di dusun itu. Karena itu, klaim Masyarakat Cirebon ini kurang dapat diterima.

Riwayat lain datang dari kalangan Jawa Mistik (Kejawen). Mereka mengaitkan nama ini dengan kesukaan wali ini berendam di sungai (kali) sehingga nampak seperti orang yang sedang “jaga kali”. Riwayat Kejawen lainnya menyebut nama ini muncul karena Joko Said pernah disuruh bertapa di tepi kali oleh Sunan Bonang selama sepuluh tahun.

Pendapat yang terakhir ini yang paling populer. Pendapat Ini bahkan diangkat dalam film ‘Sunan Kalijaga’ dan ‘Walisongo’ pada tahun 80-an. Saya sendiri kurang sepaham dengan kedua pendapat ini.

Secara sintaksis, dalam tata bahasa-bahasa di Pulau Jawa (Sunda dan Jawa) dan segala dialeknya, bila ada frase yang menempatkan kata benda di depan kata kerja, itu berarti bahwa kata benda tersebut berlaku sebagai subjek yang menjadi pelaku dari kata kerja yang mengikutinya. Sehingga bila ada frase ‘kali jaga’ atau ‘kali jogo’ berarti ada ‘sebuah kali yang menjaga sesuatu’. Ini tentu sangat janggal dan tidak masuk akal.

Bila benar bahwa nama itu diperoleh dari kebiasaan Sang Sunan kungkum di kali atau karena beliau pernah menjaga sebuah kali selama sepuluh tahun non-stop (seperti dalam film), maka seharusnya namanya ialah “Sunan Jogo Kali” atau “Sunan Jaga Kali”.

Kemudian secara logika, silakan anda pikirkan masak-masak. Mungkinkah seorang da’i menghabiskan waktu dengan kungkum-kungkum di sungai sepanjang hari? Tentu saja tidak. Sebagai da’i yang mencintai Islam dan Syi’ar-nya, tentu ada banyak hal berguna yang dapat beliau lakukan.

Riwayat Kejawen bahwa beliau bertapa selama sepuluh tahun non-stop di pinggir kali juga merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa seorang ulama saleh terus-menerus bertapa tanpa melaksanakan shalat, puasa, bahkan tanpa makan dan minum? Karena itu, dalam pendapat saya, kedua riwayat itu ialah riwayat batil dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Fakta Nama 'Kalijaga'

Pendapat yang paling masuk akal ialah bahwa sebenarnya nama ‘kalijaga’ berasal dari bahasa Arab “Qadli’ dan nama aslinya sendiri, ‘Joko Said’, jadi frase asalnya ialah ‘Qadli Joko Said’ (Artinya Hakim Joko Said). Sejarah mencatat bahwa saat Wilayah (Perwalian) Demak didirikan tahun 1478, beliau diserahi tugas sebagai Qadli (hakim) di Demak oleh Wali Demak saat itu, Sunan Giri.

Masyarakat Jawa memiliki riwayat kuat dalam hal ‘penyimpangan’ pelafalan kata-kata Arab, misalnya istilah Sekaten (dari ‘Syahadatain’), Kalimosodo (dari ‘Kalimah Syahadah’), Mulud (dari Maulid), Suro (dari Syura’), Dulkangidah (dari Dzulqaidah), dan masih banyak istilah lainnya. Maka tak aneh bila frase “Qadli Joko” kemudian tersimpangkan menjadi ‘Kalijogo’ atau ‘Kalijaga’.

Posisi Qadli yang dijabat oleh Kalijaga alias joko Said ialah bukti bahwa Demak merupakan sebuah kawasan pemerintahan yang menjalankan Syariah Islam. Ini diperkuat oleh kedudukan Sunan Giri sebagai Wali di Demak.

Istilah ‘Qadli’ dan ‘Wali’ merupakan nama-nama jabatan di dalam Negara Islam. Dari sini sajasudah jelas, siapa Sunan Kalijaga sebenarnya; ia adalahseorang Qadli, bukan praktisi Kejawenisme.

Da’wah Sunan Kalijaga adalah Da’wah Islam, Bukan Da’wah Kejawen atau Sufi-Pantheistik

Kita kembali ke Sunan Kalijaga alias Sunan Qadli Joko. Riwayat masyhur mengisahkan bahwa masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ini berarti bahwa beliau mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit pada 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, bahkan hingga Kerajaan Pajang (lahir pada 1546) serta awal kehadiran Kerajaan Mataram. Bila riwayat ini benar, maka kehidupan Sunan Kalijaga adalah sebuah masa kehidupan yang panjang.

Manuskrip-manuskrip dan babad-babad tua ternyata hanya menyebut-nyebut nama beliau hingga zaman Kesultanan Cirebon saja, yakni hingga saat beliau bermukim di dusun Kalijaga.

Dalam kisah-kisah pendirian Kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir dan Kerajaan Mataram oleh Panembahan Senopati, namanya tak lagi disebut-sebut. Logikanya ialah, bila saat itu beliau masih hidup, tentu beliau akan dilibatkan dalam masalah imamah di Pulau Jawa karena pengaruhnya yang luas di tengah masyarakat Jawa.

Fakta menunjukan bahwa makamnya berada di Kadilangu, dekat Demak, bukan di Pajang atau di kawasan Mataram (Yogyakarta dan sekitarnya) –tempat-tempat di mana Kejawen tumbuh subur. Perkiraan saya, beliau sudah wafat saat Demak masih berdiri.

Riwayat-riwayat yang batil banyak menceritakan kisah-kisah aneh tentang Sunan Kalijaga –selain kisah pertapaan sepuluh tahun di tepi sungai. Beberapa kisah aneh itu antara lain, bahwa beliau bisa terbang, bisa menurunkan hujan dengan hentakan kaki, mengurung petir bernama Ki Ageng Selo di dalam Masjid Demak dan kisah-kisah lain yang bila kita pikirkan dengan akal sehat non intelek tidak mungkin bisa masuk ke dalam otak manusia. Kisah-kisah aneh macam itu hanya bisa dipercaya oleh orang gila yang gemar sihir.

Ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dan berbau Hindu-Budha serta Kejawen. Padahal fakta tentang kehidupan Sunan Kalijaga adalah Da’wah dan Syi’ar Islam yang indah. Buktinya sangat banyak sekali.

Sunan Kalijaga adalah perancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi peninggalan Sunan Kalijaga. Mana mungkin seorang kejawen ahli mistik mau-maunya mendirikan Masjid yang jelas-jelas merupakan tempat peribadatan Islam.

Paham keagamaan Sunan Kalijaga adalah salafi –bukan sufi-panteistik ala Kejawen yang ber-motto-kan ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Ini terbukti dari sikap tegas beliau yang ikut berada dalam barisan Sunan Giri saat terjadi sengketa dalam masalah ‘kekafiran’ Syekh Siti Jenar dengan ajarannya bahwa manusia dan Tuhan bersatu dalam dzat yang sama.

Kesenian dan kebudayaan hanyalah sarana yang dipilih Sunan Kalijaga dalam berdakwah. Beliau memang sangat toleran pada budaya lokal. Namun beliau pun punya sikap tegas dalam masalah akidah. Selama budaya masih bersifat transitif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, beliau menerimanya.

Wayang beber kuno ala Jawa yang mencitrakan gambar manusia secara detail dirubahnya menjadi wayang kulit yang samar dan tidak terlalu mirip dengan citra manusia, karena pengetahuannya bahwa menggambar dan mencitrakan sesuatu yang mirip manusia dalam ajaran Islam adalah haram hukumnya.

Cerita yang berkembang mengisahkan bahwa beliau sering bepergian keluar-masuk kampung hanya untuk menggelar pertunjukan wayang kulit dengan beliau sendiri sebagai dalangnya.

Semua yang menyaksikan pertunjukan wayangnya tidak dimintai bayaran, hanya diminta mengucap dua kalimah syahadat. Beliau berpendapat bahwa masyarakat harus didekati secara bertahap.

Pertama berislam dulu dengan syahadat selanjutnya berkembang dalam segi-segi ibadah dan pengetahuan Islamnya. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahwa bila Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Lakon-lakon yang dibawakan Sunan Kalijaga dalam pagelaran-pagelarannya bukan lakon-lakon Hindu macam Mahabharata, Ramayana, dan lainnya. Walau tokoh-tokoh yang digunakannya sama (Pandawa, Kurawa, dll.) beliau menggubah sendiri lakon-lakonnya, misalnya Layang Kalimasada, Lakon Petruk Jadi Raja yang semuanya memiliki ruh Islam yang kuat.

Karakter-karakter wayang yang dibawakannya pun beliau tambah dengan karakter-karakter baru yang memiliki nafas Islam. Misalnya, karakter Punakawan yang terdiri atas Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng adalah karakter yang sarat dengan muatan Keislaman.

Adapun Istilah dalam Pewayangan merujuk pada Bahasa Arab :

1. Istilah ‘Dalang’ berasal dari bahasa Arab, ‘Dalla’ yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang ‘Dalang’ adalah seseorang yang ‘menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang’. Mandalla’alal Khari Kafa’ilihi (Barangsiapa menunjukan jalan kebenaran atau kebajikan kepada orang lain, pahalanya sama dengan pelaku kebajikan itu sendiri –Sahih Bukhari)

2. Karakter ‘Semar’ diambil dari bahasa Arab, ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dalam hal ini, seorang Muslim memiliki pendirian dan iman yang kokoh bagai paku yang tertancap, Simaaruddunyaa.

3. Karakter ‘Petruk’ diambil dari bahasa Arab, ‘Fat-ruuk’ yang artinya ‘tingggalkan’. Maksudnya, seorang Muslim meninggalkan segala penyembahan kepada selain Allah, Fatruuk-kuluu man siwallaahi.

4. Karakter ‘Gareng’ diambil dari bahasa Arab, ‘Qariin’ yang artinya ‘teman’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berusaha mencari teman sebanyak-banyaknya untuk diajak ke arah kebaikan, Nalaa Qaarin.

5. Karakter ‘Bagong’ diambil dari bahasa Arab, ‘Baghaa’ yang artinya ‘berontak’. Maksudnya, seorang Muslim selalu berontak saat melihat kezaliman.

Seni ukir, wayang, gamelan, baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, serta seni suara suluk yang diciptakannya merupakan sarana dakwah semata, bukan budaya yang perlu ditradisikan hingga berkarat dalam kalbu dan dinilai sebagai ibadah mahdhah.

Beliau memandang semua itu sebagai metode semata, metode dakwah yang sangat efektif pada zamannya. Secara filosofis, ini sama dengan da’wah Rasulullah SAW yang mengandalkan keindahan syair Al Qur’an sebagai metode da’wah yang efektif dalam menaklukkan hati suku-suku Arab yang gemar berdeklamasi.

Tak dapat disangkal bahwa kebiasaan keluar-masuk kampung dan memberikan hiburan gratis pada rakyat, melalui berbagai pertunjukan seni, pun memiliki nilai filosofi yang sama dengan kegiatan yang biasa dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab r.a. yang suka keluar-masuk perkampungan untuk memantau umat dan memberikan hiburan langsung kepada rakyat yang membutuhkannya.

Persamaan ini memperkuat bukti bahwa Sunan Kalijaga adalah pemimpin umat yang memiliki karakter, ciri, dan sifat kepemimpinan yang biasa dimiliki para pemimpin Islam sejati, bukan ahli Kejawen.

FATWA NAHDLOTUL ULAMA'

Sekitar tahun 1950 hingga 60-an NU (Nahdlatul Ulama) dituduh oleh sekelompok kalangan telah mengeluarkan Fatwa (pendapat agama) yang mendukung mantan Presiden Soekarno. Mungkin yang dimaksudkan adalah salah sebuah keputusan Munas (Musyawarah Nasional) Ulama tahun 1957 di Medan, yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah “Pejabat Tertinggi Negara   Untuk Sementara, Dengan Kekuasaan Efektif” (Waliyul Amri Dlaruri Bissaukah), demikian penulisannya oleh Munas tersebut).
Sebenarnya “gelar” ini memang dimotori oleh NU, alasanya harusada kejelasan tentang kedudukan dan status Presiden Republik Indonesia dari sudut pandang hukum agama (fiqh). Tanpa kejelasan tersebut maka akan timbul kebalauan, siapakah yang memberikan wewenang kepada Menteri Agama untuk mengangkat Penghulu guna menetapkan jatuhnya hari-hari besar Islam dalam kehidupan kita tiap tahun.Tanpa Penghulu, tidak akan jelas siapa yang harus menentukan mereka yang memperoleh harta warisan dan mereka yang kawin, cerai dan rujuk. Pejabat di bidang itu tidak akan bisa di tunjuk oleh Menteri Agama, kalau status dan kedudukan Presiden RI tidak jelas dari sudut pandangan agama. Dengan demikian, wewenang mengikat dari sudut pandang agama Islam untuk Menteri Agama tidak akan ada. Hal itu tidak boleh terjadi, sedangkan dengan status dan wewenang yang jelas, peranan pejabat-pejabat Departemen Agama masih sering “disaingi” oleh keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi Islam, lihat saja PP Muhammadiyah dan PBNU tentang jatuhnya kedua Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha tiap tahun.Dengan membuat keputusan tersebut, kedua organisasi besar itu seolah-olah memerintahkan rakyat  mengikuti keputusan mereka, bukan keputusan pemerintah.
Berbeda dengan negeri-negeri di kawasan Timur Tengah, yang  menghargai keputusan Mufhti (pembuat fatwa) dan tidak ada yang membantah atau mengabaikannya. Secara politis, memang ini adalah bukti toleransi pemerintah terhadap organisasi-organisasi Islam di negeri ini. Tetapi ini berarti kebalauan yang segera harus diatasi. Selama hal itu tidak dilakukan, maka kebalauan akan terus-menerus terjadi dalam penentuan hal-hal tersebut. Umpamanya, ditetapkan penunjukan seorang Muhfti pun tidak akan dapat memecahkan masalah ini, karena pada kenyataannya keputusan-keputusan itu apakah harus berdasarkan pendirian para pembaharu atau pendirian para pemuka tradisional, yang harus dipakai sebagai “keputusan Islam“?
Dengan perumpaan kasus penentuan hari besar tadi, jelaslah tidak ada satu pihak pun yang “bersalah” dalam hal ini, walaupun gencar sekali pada waktu itu dinyatakan NU sebagai mencampur-adukan masalah-masalah agama dan politik. Keinginan NU untuk memperjelas status dan kedudukan Presiden RI dalam pandangan Islam, dianggap sebagai dukungan terhadap Bung Karno. Hal itu dianggap sebagai “sikap politik”, padahal adalah “pandangan Islam”. Ini adalah salah satu bentuk reaksi terhadap “kegagalan” pembaharuan (reformasi) Islam –terutama diwakili NU- di negeri ini, di hadapan ketundukan masyarakat terhadap “kaum tradisionalis”. Seperti kekuatan “kaum pembaharu” dalam birokrasi pemerintah yang masih cukup besar tetapi mereka tidak dapat “menundukkan kaum tradisionalis”. Selama tidak ada ketegasan dari “kaum pembaharu” Islam, maka keadaan tidak menentu akan tetap ada. Ini bukanlah kesalahan  satu pihak saja melainkan kesalahan semua pihak. Secara faktual, dalam tahun-tahun belakangan ini dengan semakin terdidiknya para birokrat Departemen Agama, semakin jelas bagi mereka bahwa tidak ada yang dapat melakukan “monopoli kebenaran” diantara umat Islam. Demikian pula jika menggunakan ukuran obyektif dari pendidikan yang memungkinkan munculnya orang-orang NU dalam deretan birokrat itu. Memang masih terasa adanya kebijakan sepihak dalam bentuk penempatan para birokrat Departemen Agama di tempat-tempat “strategis” dari kalangan pihak yang menguasai pemerintahan, namun hal itu tidak menghalangi tumbuhnya “obyektifitas” oleh lembaga tersebut dalam pengambilan keputusan atas nama agama.
Sebuah fakta lain yang tidak dapat diremehkan adalah adanya kebutuhan untuk mengambil keputusan bersama atas nama Islam diantara berbagai pemerintahan sejumlah negara di ASEAN. Ini mengharuskan pihak Departemen Agama menggunakan “ukuran obyektif” yang mengikat semua pihak. Dalam hal ini kedudukan sumber-sumber tertulis (Dalil Naqliyah) menjadi sangat penting, sehingga ia menjadi sumber satu-satunya dalam pengambilan keputusan. Peranan “argumentasi rasional” (Dalil ‘Aqliyah) dibuat semakin tidak lazim, sehingga dengan sendirinya ruang untuk bertikai menjadi hampir-hampir tidak                   ada. Proses ini sebenarnya juga membahayakan, karena salah satu kekuatan Islam sebenarnya terletak pada “penafsiran baru” (re-interpertasi) atas sumber-sumber tertulis (Dalil Naqli) tersebut. Penulis belum dapat mengusulkan pemecahan bagi “proses berpikir keagamaan” ini, yang dalam jangka panjang akan mempersempit pandangan Islam sendiri.
Jelas dari uraian di atas, bahwa apa yang disangkakan sebagai “keputusan politik” yang dilakukan NU di masa lampau, sebenarnya adalah “keputusan agama” yang harus dimengerti sebab-sebabnya. Kalau tidak, tentu akan dianggap sebagai keputusan politik yang akan menciptakan kecurigaan besar atas keputusan-keputusan itu sendiri. Tentu saja hal ini harus dikoreksi untuk mencapai “kebenaran relatif” dari keputusan-keputusan NU itu. Mengingat NU adalah organisasi agama Islam terbesar di dunia, tentu saja “obyektifitas” pandangan kita tentang keputusan-keputusan itu sangat diperlukan. Tentu saja, “keperluan” seperti itu tidak hanya dilakukan secara Ilmiah dan historis belaka, tapi juga berdasarkan “tuntutan keadilan” masyarakat.Tiga buah keputusan penting dari NU segera terlintas dalam benak penulis. Pertama, keputusan Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, dalam bentuk jawaban atas pertanyaan; “Wajibkah seorang muslim mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia-Belanda -demikian Indonesia waktu itu dikenal- yang diperintah oleh orang-orang Non-Muslim (Belanda)? Dari Bughyat Al-Mustarsydin diambil argumentasi, bahwa kawasan Kerajaan Hindia Belanda yang dahulunya adalah kerajaan Islam, harus dipertahankan oleh kaum Muslimin. Di samping itu, Muktamar tersebut mengemukakan sebuah argumentasi baru -yang merupakan reinterpertasi-, bahwa keharusan mempertahankannya juga karena kaum Muslimin di kawasan tersebut bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam, dengan tidak dicampuri oleh pemerintahan yang ada. Argumentasi tadi, oleh penulis digunakan dalam dua hal. Pertama, menyanggah pendapat Kapolda Jawa Tengah yang ingin membubarkan Pesantren Al-Mukmin di Ngrungki, Solo. Penulis menentang hal itu, karena selayaknya pemerintah tidak campur tangan dalam menentukan nasib sebuah lembaga agama, biarlah masyarakat yang melakukan hal itu bukannya pemerintah. Kedua, penulis beranggapan bahwa Konghucu adalah sebuah agama karena masyarakat Tionghoa sendirilah (terutama pemeluknya) yang berhak menentukan, apakah Konghucu sebuah agama atau bukan. Bukannya pemerintah, yang seharusnya hanya berfungsi melayani saja dan tidak boleh menentukan faham tersebut sebuah agama atau bukan. Ini jelas berbeda dari pandangan para birokrat pemerintah, terutama dari Orde Baru. Pendapat ini cukup  sederhana untuk diterapkan bukan?

AGAMA DAN DEMOKRATISASI

            Banyak orang bertanya kepada penulis, mengapa demikian banyak orang menjadi Katolik. Bukankah dengan demikian, dalam beberapa puluh tahun saja, seluruh Indonesia akan beragama Katolik? Atau paling tidak, mayoritas umat yang beragama Islam di Indonesia akan hilang berganti dengan Katolik dan Protestan. Capaian kemajuan yang luar biasa dari Kristenisasi ini, sangatlah mengerikan bagi yang meyakininya, dan sepertinya telah menjadi kenyataan (sejarah) yang harus diyakini.
            Tetapi, yang tidak ikut-ikutan yakin seperti penulis ini, malah dianggap sebagai pengkhianat Islam. Lalu, apa yang harus menjadi sikap mereka? Menurut penulis, hal itu tidak usah diperhatikan secara serius. Dianggap sebagai pengkhianat atau bukan, sangatlah tergantung pada diri kita masing-masing. Bahkan, lebih jauh lagi, persoalan dianggap berkhianat ataupun tidak, bukanlah termasuk masalah yang prinsipil dan penting. Dan, jika saja masih dianggap sebagai pengkhianatan —padahal memang bukan— lebih baik dibiarkan saja. Bukankah, suatu saat nanti, fakta yang akan berbicara, bukannya kesan? Kalau memang tidak membantu Kristenisasi, bukankah dianggap apa saja tak jadi soal? Kristenisasi, sebagai sebuah proses kemasyarakatan berjalan secara alamiah. Dengan demikian, masalah Kristenisasi akan tetap terjadi kalau hal itu akan terus berlangsung.
            Karenanya, dari sini, tugas penulis hanyalah ingin mendekatkan antara kaum Kristen dan muslimin di negeri kita ini. Bukankah para pendiri republik (the Founding Fathers) ini, dulunya, selalu bekerja sama dalam memperjuangkan dan mendirikan negara-bangsa yang tercinta ini? Juga, bukankah tidak ada yang mengharuskan penulis untuk beribadah secara Kristen, sama seperti halnya yang telah dialami oleh ayah penulis? Maka, diharapkan yang terjadi adalah perataan pemikiran antara kedua belah pihak, Seperti halnya, bagaimana penulis sering mengambil pemikiran Martin Luther King Jr. mengenai demokrasi. Di samping itu, bahkan penulis sering kali mengambil pemikiran Mahatma Gandhi yang beragama Hindu atau Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Buddha. Dan juga, tentunya, pemikiran Ali Abd. Roziq, yang hampir semua buku-bukunya dilarang dibaca di Mesir.
            Dengan kata lain, pencarian pendapat tentang demokrasi banyak penulis ambil dari mana pun, selama hal itu merupakan pencerminan dari teologia yang benar dan ketaatan yang saleh. Soal nilai kepercayaan masing-masing, penulis tak pernah mempersoalkannya. Semua itu, kita serahkan saja pada para teolog dari masing-masing agama dan keyakinan. Dan, penulis rasa, hanya dengan beginilah pengikut semua agama akan mampu memperjuangkan proses demokratisasi secara bersama-sama.
            Kalau untuk proses demokratisasi saja prinsip-prinsip tersebut penulis pertahankan, maka terhadap hal yang sama juga penulis lakukan atas berlakunya keadilan, berlangsungnya hak-hak yang sama di hadapan undang-undang (UU) dan persamaan kepentingan bagi semua warga negara, tanpa kecuali. Ini berarti, kebebasan untuk berbicara haruslah dipertahankan dan kebebasan berpendapat harus pula dijaga.
            Pembicaraan di atas, memang dapat disangkal dengan anggapan bahwa, tanpa berbicara dengan agama lain pun sesuatu agama dengan sendirinya dapat memperjuangkan demokrasi. Terhadap pernyataan ini, penulis mempunyai dua keberatan. Pertama, karena belum tentu semua argumentasi yang dipergunakan sama. Sehingga, dengan demikian, belum tentu pula ada perhatian yang sama terhadap hal-hal penting yang terdapat dalam berbagai aspek proses tersebut. Kedua, penegakan demokrasi mesti mengharuskan keikutsertaan semua warga negara yang hanya dapat diperoleh melalui persamaan pemikiran dan dekatnya pandangan-pandangan gerakan demokratisasi.
            Kalau tidak demikian, berarti proses demokratisasi harus diserahkan pada ideologi-ideologi besar,seperti, nasionalisme maupun sosialisme sebagai pemikiran nonkeagamaan. Ini, dapat kita lihat dalam sejarah bangsa- bangsa yang besar, seperti Rusia, Cina, dan India. Di negeri-negeri tersebut, agama seolah-olah tak punya hak untuk turut menentukan parameter dan proses demokratisasi yang berjalan. Bahkan kehadiran partai beragama Hindu di Indonesia, beberapa tahun yang lalu —sebagai penjaga demokrasi, terasa sangat mengherankan dan hampir-hampir tak dipercayai orang. Sekarang pun orang belum percaya terhadap Liga Muslim (ML) di Pakistan, yang turut memperjuangkan demokrasi sejak negeri itu masih di bawah jajahan Inggris, dan Partai Islam yang berkuasa di Iran sekarang yang dulunya bekerja menentang tirani, yaitu Syah Iran.
Hal yang sama, juga sangat terasa sekali di negeri kita. Misalnya, antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hampir-hampir tak pernah disebut sebagai bagian dari gerakan kemerdekaan. Yang selalu dianggap adalah Partai Nasionalis-nya Bung Karno ataupun golongan sosialis pimpinan Sneevliet. Bahkan golongan komunis pun bisa dianggap lebih bersikap nasionalistik. Padahal, bagi mereka, kemerdekaan tak lain adalah salah satu tahap pencapaian dari sosialisme itu sendiri. Kalau memang demikian, mengapakah gerakan-gerakan Islam tidak pemah dianggap demikian, padahal mereka telah melalui proses yang sama? Ketidakadilan sejarah ini, menurut penulis, terjadi karena kaum muslim lebih asyik berbicara tentang masyarakat Islam dan sedikit sekali mereka berbicara tentang kemerdekaan sebagai proses sejarah. Bahkan, mereka lebih banyak berbicara tentang masyarakat Islam masa Nabi yang sudah berlangsung empat belas abad yang lain daripada kemerdekaan yang harus dicapai. Maka, tidaklah mengherankan jika sejarah Islam lalu dianggap terlepas dari proses mencapai kemerdekaan, apalagi mempertahankannya.
            Yang menarik, dewasa ini, hal yang sama terulang lagi. Manakah di antara gerakan Islam yang banyak berbicara tentang proses gerakan demokratisasi? Bukankah mereka lebih banyak berbicara tentang pentingnya mempertahankan kekuasaan? Bahkan, sekarang pun banyak gerakan Islam yang lebih tertarik mempertahankan status quo —termasuk mempertahankan rezim pemerintahan kini, ketimbang pentingnya membina masyarakat baru yang lebih demokratis. Dalam hal ini, contoh terbaik dari gerakan-gerakan Islam yang mencoba mempertahankan rezim yang tak demokratis itu berhadapan dengan protes para mahasiswa dan cendekiawan. Lalu, herankah kita kalau proses demokratisasi itu akhirnya "direbut" oleh berbagai gerakan yang memperjuangkan demokratisasi? Bukankah hal ini juga berlaku bagi proses perdamaian, keadilan hukum, kebebasan berbicara dan berpendapat serta persamaan hak dan kewajiban warga negara dihadapan UU?

Biografi Jaka Tingkir

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.

Beberapa waktu kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.

Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan.

Saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang sudah diberi mantra. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan Sultan di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya.

Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.

Kemudian Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.

Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak.

Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah.

Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai sultan pertama.

Sultan Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.

Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.

Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.

Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.

Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Adiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.

Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.

Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir

Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.

Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.

Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.

Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.

Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.

Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

Sultan Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak.

Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang, bergelar Sultan Ngawantipura.

Sayyidina Abdurrohman (Jaka Tingkir), salah satu garis keturunannya…

**Sayyidina Abdul Halim (P. Benawa),

** Sayyidina Abdurrohman (P. Samhud Bagda),

** Sayyidina Abdul Halim,

** Sayyidina Abdul Wahid,

** Sayyidina Abu Sarwan.

** Sayyidina KH. As’ari,

** Sayyidina KH. Hasyim As’ari

** Sayyidina KH. Abdul Wahid Hasyim

**KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

# Gambar diatas adalah Ilustrasi dari Jaka Tingkir , foto dari Jaka Tingkir (asli) belum diketemukan.

BIOGRAFI KH. AHMAD DAHLAN

Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.

Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).

Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri, yaitu :

"Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya"
(diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dari pesan itu tersirat sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.

Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, maka Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta yang mempunyai penghasilan yang cukup tinggi. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.

Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.

Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.

Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.

Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/kh-ahmad-dahlan.html

PRASYARAT BAGI PENUNTUT ILMU

Akhlaq Penuntut Ilmu
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata akhlaq mempunyai arti budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlaq walaupun diambil dari bahasa Arab——yang mempunyai arti tabi’at, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Namun kata seperti itu tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an. Yang ditemukan hanyalah bentuk mufrod (tunggal) dari kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai rasul.

            “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang       agung”. (QS. Al-Qalam: 4)
Kata akhlaq banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi Saw, dan salah satunya yang paling populer adalah,
إنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
            “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. (HR. Malik)
Firman Allah SWT:

            “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (QS. Al-Ahzab: 21).
Dan akhlaq penuntut ilmu adalah “menghabiskan waktunya untuk belajar. Menerima pelajaran serta nasihat dan menjalankannya”.
Yang paling mengetahui tentang manusia adalah dirinya sendiri. Maka hendaklah seseorang insyaf dan menyadari akan dirinya sendiri, karena dengan menyadari akan dirinya sendiri seseorang akan mencapai kesempurnaan akhlaq. Sebaliknya, apabila tidak sadar dan tidak tahu diri, maka akan dihancurkan oleh keluh kesahnya.

            “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri”. (QS. Al-Qiyamah: 14)
Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu, berkata :
     “Barang siapa yang tidak tahu akan keadaan dirinya maka akan dihancurkan oleh keluh kesahnya sendiri”
Menurut Ahmad Amin——guru besar sejarah, kebudayaan, dan filsafat Universitas Al-Azhar——Cairo, di dalam karyanya, Kitabul Akhlaq ada beberapa metode untuk membangun Akhlaqul Karimah, antara lain melalui :
  1. Al-Gharizah (Pembinaan Istink)
            “Gharizah adalah sejumlah kemampuan (makalah) yang dapat mendorong usaha mencapai puncaknya tanpa memerlukan pemikiran mendalam maupun contoh (detail)’.——Ahmad Amin, 1929, Hal. 11.
Manusia memiliki beberapa gharizah/ istink yang dibawa sejak lahir, seperti :
  • Istink membela diri——Gharizah Hifdzu Adz-dzati—adalah kecenderungan manusia untuk membela diri dari semua yang akan membahayakan jiwanya.
  • Instink kecenderungan bersatu dengan kelompok——Gharizah Hifdzunnau’, yaitu kecenderungan berkelompok dengan sesama usia. Sedangkan pengelompokan dengan sesama jenis disebut Gharizah Hifdzu al-Jinsi.
  • Instink memiliki rasa takut——Gharizatul Khouf, bahwa dalam diri manusia terdapat rasa takut yang dibawa sejak lahir yang berbeda adalah tingkat rasa takut.
  • Instink ke-Tuhan-an——Fithratul Uluhiyah, bahwa dalam diri manusia terdapat fungsi ke-Tuhan-an, oleh Dr. Jung disebut dengan Natural Religions, yang tidak mungkin diingkari selama manusia itu menggunakan akal dan pikiran yang baik.
Dan masih banyak lagi sifat-sifat bawaan lainnya yang tidak perlu semua disebutkan disini seperti misalnya Istink Lapar——gharizatul ju’i—dan lain-lain.
  1. Al-Adat (Kebiasaan)
            “Kebiasaan adalah pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang sehingga melakukannya akan menjadi mudah”.
Selanjutnya menurut Ahmad Amin :           
            “Bahwa pembiasaan yang kuat akan membentuk tabi’at kedua sedang tabi’at pertama adalah sifat yang dibawa manusia sejak lahir sebagai fitrahnya”.
Pembiasaan atau al-Adat sebagai salah satu metode, jalan untuk memperbaiki, dan mendidik akhlaq manusia melalui latihan dan pembiasaan secara terus menerus dapat menumbuhkan kekuatan dan tabi’at. Akhlaq adalah sikap jiwa. Akhlaq yang baik adalah bagaimana sikap jiwa merespon nilai-nilai yang baik. Dari penjelasan ini dapat diambil pengertian bahwa mendidik akhlaq yang baik adalah melatih dan membiasakan melakukan hal-hal yang baik.
Penuntut ilmu membiasakan melakukan dan melatih pekerjaan yang baik sehingga terbiasa dan melakukannya menjadi mudah tanpa memerlukan angan-angan dan ancang-ancang. Inilah yang dikatakan bahwa perbuatan itu telah menjadi akhlaqnya atau sikap jiwanya.
Ahmad Amin menambahkan bahwa :
            “Apabila kebiasaan telah bersemayam dalam diri seseorang dapat menumbuhkan kehebatan dan keistimewaan antara lain melakukannya menjadi mudah dan dapat ditepatinya waktu dan ingatan”.—Ahmad Amin;1929;11.
Maksudnya bahwa melakukan pekerjaan yang agak sulit atau memang benar-benar sulit karena dilakukan latihan dan pembiasaan, lama-lama akan menjadi mudah.
Itulah kalimat terakhir yang dikemukakan Ahmad Amin. Sekarang kita menjadi faham bahwa perilaku manusia itu tidak lebih dari setumpuk kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan di atas bumi ini. Demikian juga harga dan kehormatannya diukur dan diperoleh dari kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan mungkin dari cara berpakaian, halus atau kasar dalam berbicara, cara makan dan minum, pembinaan kesehatan maupun cara berfikir dan kebiasaan-kebiasan lainnya yang ikut menentukan tinggi rendahnya derajat manusia. Bahkan manusia celaka ataukah bahagia ditentukan oleh kebiasaan yang ia lakukan. Menjadi pemberani atau penakut, sehat jasmani atau sering sakit, semua tumbuh dari kebiasaan yang ia lakukan seperti tidak nadhofah, berlebih-lebihan dalam makan, minum, dan lain-lain.
Sekalipun kesimpulan ini tidak dapat dikatakan seluruhnya benar sebab ada sakit yang menimpa manusia benar-benar tidak mungkin dihindari dengan segala upaya maupun diketahui dari mana datangnya.

  1. Al-Irâdah (Membina Kemauan)
            ”Irâdah adalah kekuatan yang memiliki daya gerak seperti daya gerak gelombang laut atau gelombang/ arus listrik yang mampu membangkitkan manusia. Dan dari kekuatan tersebut timbul semua perbuatan yang disengaja         (Al-A’mal Irâdiyah)”.
Ahmad Amin membagi dua macam Irâdah :
  1. Irâdah Dâfi’ah yaitu kekuatan yang mendorong manusia melakukan sesuatu perbuatan.
  2. Irâdah Mâni’ah yaitu kekuatan yang mampu menahan untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Selanjutnya Ahmad Amin menyatakan bahwa irâdah yang kuat adalah :
            “Yang disebut kemauan yang kuat adalah irâdah yang mampu menembus berlapisnya kesulitan yang menghimpit serta rintangan yang menghadang. Irâdah seperti ini yang mampu mengangkat orang-orang besar menembus semua jalan (cita-cita mereka)”
Adapun yang disebut dengan kemauan lemah adalah kemauan yang tidak mampu menghadapi hawa nafsu, kesenangan——syahwat, selalu menyerah kepada keadaan, serta tidak ada himmah atau cita-cita yang ingin diperjuangkan dalam hidup.
  1.  Al-Wiratsah (Membina Keturunan dan Lingkungan)
Keturunan disebut juga dengan hubungan darah. Dalam ilmu pendidikan disebut ‘Hereditas’. Yaitu pemindahan karakteristik biologis individu dari orangtua kepada anak.
            Tentang apa saja yang dapat diturunkan, Ahmad Amin menyebut sebagai   berikut:
  • Bentuk fisik
  • Ketajaman indera dan perasaan
  • Sikap lemah lembut
  • Kecerdasan
Kemudian dalam buku ‘Psikologi Pendidikan’ yang ditulis oleh DR. Wasty Sumanto menyebutkan apa saja yang dapat diwariskan antara lain: hidung, rambut, tengkorak, kulit, warna mata, tinggi pendek, (kebanyakan sifat fisiologis)——Wasty Sumanto;1984;89.

Membangun Kepribadian
Yang dimaksud dengan kepribadian adalah sikap batin dalam menghadapi suatu keadaan atau nilai-nilai tertentu. Sikap batin tersebut dibentuk dan dibangun oleh pengaruh lingkungan, pendidikan, agama, adat-istiadat, dan kondisi geografis.
Kalau dikaitkan dengan kepribadian bangsa Indonesia maka maksudnya adalah sikap batin orang Indonesia yang mempunyai sifat ramah, berbudi luhur, suka menolong, rukun, dan damai dalam kenikmatan Tuhan yang berupa wilayah daratan hijau yang subur. Sifat seperti itu juga terdapat pada umumnya orang-orang timur.
Bangsa-bangsa timur pandai menyapa dan menghargai orang lain terutama yang lebih tua, suka menghargai tetangga, dan memuliakan tamu.
Sabda nabi Saw:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لمَ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَاوَلمَ يُوَقِرْكَبِيْرَنَا (الحديث
Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak mau menyayangi yang kecil dan menghormati yang lebih tua”.
Bangsa barat memperoleh kemajuan seusai ‘perang salib’ abad XII-XIV. Kemenangan perang salib terbesar adalah diboyongnya peradaban dan ilmu pengetahuan dari dunia Islam. Mereka mempelajari karya-karya ilmuwan muslim. Kemajuan pesat dan pengembangan ilmu pengetahuan itulah yang dikenal dengan sebutan modernisasi. Jika kepribadian bangsa Indonesia meniru kemajuan ilmu pengetahuan barat——modernisasi, maka akan memiliki makna luhur. Akan tetapi sebaliknya jika yang diikuti adalah sikap dan perilaku kepribadian barat (kebarat-baratan) maka bukan modernisasi lagi tetapi westernisasi. Sikap yang demikian inilah berakibat pada hilangnya kepribadian bangsa Indonesia yang luhur.
Apa yang dapat disaksikan melalui film-film di televisi seperti kehidupan materialistis dan pergaulan bebas adalah westernisasi yang berbaju modernisasi. Anak-anak dan para pelajar Indonesia harus diselamatkan dari gaya hidup westernisasi tetapi tetap mengambil kemodernannya. Seperti semangat belajar, disiplin, profesional, dan menghargai waktu. Sikap inilah yang perlu ditiru oleh bangsa Indonesia dengan tetap berpegang pada kepribadian sendiri.

Akhlaqul Mu’âmalah (Sopan Santun Pergaulan)
Dalam hidup bermasyarakat yang terpenting adalah setiap orang terutama para penuntut ilmu hendaknya mampu membawa diri dalam pergaulan maupun dalam berperilaku. Jika hal itu tidak dilakukan niscaya akan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Diantaranya akan muncul kekacauan maupun ketidakharmonisan. Disinilah ada yang namanya sopan santun dalam pergaulan——Akhlaqul Mu’amalah. Dan sopan santun dalam pergaulan ini sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat.
Ada pepatah mengatakan, “Jangan dekat-dekat dengan kubangan kerbau, karena kau akan terciprat lumpurnya”. Jika dicermati pepatah tersebut, menjelaskan bahwa kita harus hati-hati dalam memilih dan mencari teman bermain, belajar, dan bergaul. Mungkin selama ini sebagian para penuntut ilmu tidak menyadari tentang hal ini, pengaruh teman sangatlah besar. Jadi memilih teman kita harus lebih cermat dan jangan sampai salah arah. Dengan demikian, memilih dan mencari teman yang baik dalam pandangan agama Islam hendaknya ditanamkan kuat-kuat pada diri seorang penuntut ilmu.
Para penuntut ilmu hendaknya berusaha membuang sifat-sifat buruk, seperti sifat iri, dengki, pemarah, dendam, sum’ah (ingin populer) dan sifat-sifat tercela lainnya. 

Menghafal
Sebagai salah satu syarat, al-‘adah (kebiasaan) seorang penuntut ilmu hendaknya membiasakan diri menghafal pelajaran-pelajaran yang memang harus dihafal———diingat—seperti diantaranya ilmu nahwu dan sharaf, kaidah-kaidah ushul, hadis, Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Banyak orang yang rendah diri dan pesimis. Mereka tidak mau menghafal karena persiapan intelektualnya kurang memadai (lemah). Atau, kadang-kadang membandingkan dirinya dengan orang-orang yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi. Akhirnya dia putus asa dan tidak mau menghafal. Padahal sangat mungkin untuk dapat menghafal meskipun bagi yang mempunyai intelektual rendah. Dengan berusaha sedikit demi sedikit setiap hari dan mengulang-ulang terus apa yang telah dihafal secara kontinue. Dan selanjutnya berusaha dengan sekuat tenaga menggabungkan hafalan yang telah dihafalnya. Insyâallah sebesar usaha yang dikeluarkan, sebesar itu pula pahala yang dapat diambil. Dan perlu diketahui, betapa banyak orang yang sudah hafal dalam hafalanya padahal mereka tidak tergolong orang yang cerdas.
Adapun beberapa yang harus dilakukan sebelum menghafal sebagai berikut:
  • Menumbuhkan niat ikhlas karena Allah semata
  • Didalam menghafal harus benar-benar mencari ridha Allah dan kebahagiaan akhirat
  • Harus ada azam (kemauan keras) untuk menyelesaikan hafalan——tidak putus di tengah jalan
  • Harus ada seorang guru yang sudah ahli dalam bidangnya yang siap menyertai dalam menghafal, serta memberikan semangat
  • Harus ada waktu khusus tiap hari jangan dicampur-campur dengan kegiatan lain
  • Harus selalu merasakan mendapat pahala dari Allah Swt
  • Harus punya buku (kitab) khusus yang hendak dihafalkan——jangan diganti-ganti.

Keistimewaan Orang Yang Menghafal
  • Allah memberi kedudukan yang tinggi dan penghormatan di antara manusia
  • Khusus bagi yang menghafal Al-Qur’an, hafalan membuat orang dapat berbicara dengan fashih dan benar, dan dapat membantunya dalam mengeluarkan dalil-dalil dengan ayat Al-Qur’an dengan cepat ketika menjelaskan atau membuktikan suatu permasalahan
  • Menguatkan daya nalar dan ingatan, dengan terlatihnya dalam hafalan menjadikan ia mudah dalam menghafal hal-hal yang lain.
  • Dengan izin Allah semata, seorang penuntut ilmu menjadi lebih unggul dari teman-temannya yang lain dalam kelas.
  • Tergolong manusia yang paling tinggi derajatnya di surga (bagi penghafal Al-Qur’an)

Musyawarah (Diskusi)
Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang hingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.[1]
Dalam Surat Ali ‘Imrân: 159 
            “Maka disebabkan Rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka alam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali-Imrân: 159)
Secara tegas dapat dipahami bahwa perintah musyawarah pada ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini mudah dipahami dari redaksi perintahnya yang berbentuk mufrod——tunggal. Namun demikian, pakar-pakar Al-Qur’an sepakat berpendapat bahwa perintah musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila nabi Saw saja diperintahkan oleh Al-Qur’an untuk bermusyawarah, padahal beliau orang yang ma’shum——terpelihara dari dosa atau kesalahan, apalagi manusia-manusia selain beliau.
Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku untuk semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada nabi Saw. Disini nabi berperan sebagai pemimpin umat yang berkewajiban menyampaikan kandungan ayat kepada seluruh umat. Sehingga sejak semula kandungannya telah ditujukan kepada mereka semua.
Orangtua kita bilang, Musyawararahlah untuk mencapai mufakat! ——rapat, merembukan untuk menghasilkan keputusan. Dalam hal ini pemimpinlah yang memutuskan. Yang pada intinya untuk mencapai tujuan yang baik hendaknya dimusyawarahkan. Tapi dalam konteks lain musyawarah disini kami artikan sebagai diskusi bagi penuntut ilmu, karena pada dasarnya kata musyawarah digunakan untuk hal-hal yang baik sejalan dengan makna dasrarnya yaitu mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kami artikan bahwa madu adalah suatu pemahaman ilmu yang masih bersarang artinya yang belum didapat. Jadi, jika para penuntut ilmu ingin lebih mudah untuk memahami pelajaran maka berdiskusilah. Dengan berdiskusi ilmu akan bekembang. Karena disana dengan tidak disadari kita telah berbagi pengalaman yang mungkin memang belum kita ketahui.

Berdoa
Doa yang berarti permohonan dari seorang yang rendah derajatnya kepada yang lebih tinggi derajatnya (Allah Swt). Setiap yang berdoa pastilah ingin dikabulkan doanya. Semua doa pasti akan dikabulkan. Akan tetapi ada yang langsung dikabulkan dan ada yang menunggu atau tidak langsung dikabulkan. Semua karena kehendak Allah Swt “Berdoalah padaku (Allah) maka Aku akan mengabulkan”.

Adab-adab Berdoa
Agar doanya itu dikabulkan, hendaknya memerhatikan adab-adab berdoa, yang antara lain, yaitu:
  • Melakukan doa pada waktu-waktu mustajab. Antara lain pada saat sepertiga akhir dari waktu malam. (Al-Bukhari IV, Hal. 101). Berdoa pada saat-saat diantara adzan dan iqamah. (Subulus Salam IV, Hal. 217). Sesudah shalat fardhu lima waktu. (Subulus Salam, Hal. 218). Ketika khatib duduk di antara dua khutbah sampai dilakukan shalat Jum’at. Sesudah shalat ‘Ashar sampai tenggelam matahari hari Jum’at. (Subulus Salam II, Bab Shalat Jum’at).
  • Membaca Hamdalah (Alhamdulillahi Rabbil ‘Àlamîn) serta salawat salam kepada Nabi SAW, pada awal dan akhir doa. (Al-Adzkar, Hal. 354).
  • Suci badan dari hadas, dan suci badan, pakaian serta tempat berdoa dari najis
  • Halal apa yang dimakan dan diminum dari hal-hal yang diharamkan. Dan demikian pula halal pakaian yang dipakai sebagai penutup auratnya. (Arba’in Nawawi, Hadis yang ke: 10)
  • Mengangkat kedua belah tangannya dan menengadahkannya ke langit di waktu berdoa dan menyapukannya ke muka setelah selesai berdoa (Subulus Salam IV, Hal. 218, dan al-Bukhori IV, Hal. 104)
  • Mempunyai keyakinan dan kemantapan bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT, dengan tanpa ada perasaan berputus asa. (Al-Bukhari IV, Hal. 104)
  • Dengan suara yang rendah, kira-kira terdengar oleh dirinya sendiri dan janganlah dinyaringkan suaranya. Karena menyaringkan bacaan doa ada larangan dari nabi Saw. (Al-Adzkar, Hal. 353)
  • Dilakukan dengan menghadap ke kiblat serta dengan penuh khusyu’ dan tadharru’ (rendah diri). Faham dengan arti doa yang dibaca. Agar timbul rasa mengagungkan dan membesarkan dzat Allah Swt. Kemudian dengan jalan yang sedemikian itu akan tumbuh rasa ikhlas dalam hatinya. (Al-Adzkar, Hal. 353)
  • Dan lebih utama serta lebih dapat diperkenankan doanya jika sebelumnya dilakukan Shalat Hajat sesudah tengah malam. Sedangkan melakukannya pada sepertiga akhir adalah lebih utama lagi. (Al-Adzkar, Hal.353).
Keutamaan berdoa banyak sekali. Sebuah maqalah mengatakan “bekerja/ berusaha tanpa berdoa kepada Allah adalah sombong. Sebaliknya berdoa tanpa berusaha adalah bohong”. Jadi, antara usaha——ikhtiar—dan doa haruslah sinkron. Begitu juga para penuntut ilmu belajarlah dengan baik kemudian berdoalah. Dan jangan hanya berdoa tapi tidak belajar dan tidak ada yang mengajar, itu bohong namanya. Dan perlu diketahui bahwa rasul Saw, bersabda, “Doa merupakan senjatanya umat mukmin”. Tentang keutamaan berdoa. Rasulullah Saw, bersabda:

أَفْضَلُ الدُّعَاءِ أَنْ تَسْأَلَ رَبَّكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ ِفي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، فَإِنَّكَ إِذَا أُعْطِيْتَهُمَا فِي الدُّنْيَا ثُمَّ أُعْطِيْتَهُمَا فِي الْآخِرَةِ فَقَدْ أَفْلَحْتَ (رواه ابن ماجه عن أنس)

            “Lebih utamanya doa adalah memohon dimaaf dan mohon selamat kepada Tuhanmu baik di dunia maupun akhirat karena sesungguhnya jika engkau diberi keduanya itu di dunia dan di akhirat maka sungguh engkau pasti    bahagia”. (HR. Ibnu Mâjjah dari Anas).

Mengerjakan Ibadah Sunnah
Ibadah dalam arti luas adalah segala kegiatan seseorang muslim dalam melaksanakan hal-hal yang disukai dan diridhai Allah Swt, baik perbuatan yang tampak maupun perbuatan yang tersembunyi. Ibadah dalam arti luas, selain dari ibadah yang terdapat dalam rukun Islam, juga termasuk semua perbuatan yang diperintahkan Allah Swt, baik perbuatan yang langsung dengan Allah, sesama manusia, dan alam lingkungan.
Seperti kita ketahui bahwa dalam agama Islam selain kita mengerjakan ibadah-ibadah yang diwajibkan, kita juga dianjurkan untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah. Karena selain kita mendapatkan pahalanya kita juga banyak sekali mendapatkan hikmahnya. Sebagai seorang penuntut ilmu seyogyanya berlatih untuk mengerjakan dan membiasakan ibadah sunnah tersebut. Karena seperti pembahasan sebelumnya selain kita berusaha, tekun belajar, bekerja keras untuk menuai kesuksesan kita juga diharuskan untuk berdoa.
Pada dasarnya segala perbuatan yang dikerjakan oleh manusia harus dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah semata. Sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an; “Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan ikhlas”. (Al-Bayyinah: 5). Selanjutnya, ia harus bersungguh-sungguh memperbaiki niat dan tujuannya, karena suatu amal yang tidak berdasarkan keikhlasan, tidak berarti disisi Allah.
            “Sesungguhnya Allah tidak mau menerima suatu amal kecuali dengan        keikhlasan dan mencari ridha Allah semata”. (HR. An-Nasa’i)
Banyak jenis-jenis ibadah yang tergolong kedalam ibadah sunnah, diantaranya seperti; shalat, puasa, menikah, dan lain-lain. Dalam buku ini tidak semua saya bahas ibadah yang tergolong kedalam ibadah sunnah. Disini saya hanya membahas tentang puasa dan shalat sunnah saja. Selain itu, saya juga membahas ibadah lain seperti membaca Al-Qur’an dan bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw sebagai suatu kebiasaan——al-adat—yang luar biasa baik, yang seharusnya dikerjakan oleh umat Islam khususnya para penuntut ilmu.

Puasa Sunnah
Puasa menurut bahasa adalah menahan——Al-Imsak, sedangkan menurut istilah syara’ adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa. Salah satunya makan dan minum mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan disertai niat.
Puasa sunnah dapat dikerjakan pada bulan selain bulan Ramadhan. Dan ketika hendak menjalankan puasa, baik puasa sunnah maupun wajib harus disertai dengan niat puasanya. Hendaknya para penuntut ilmu berlatih membiasakan berpuasa sunnah karena banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat diambil dan dapat dirasakan. Dalam hadis dikatakan bahwa, “apabila seseorang menyedikitkan makannya maka perutnya——seluruh badannyadipenuhi dengan cahaya”. (HR. Ad-Daelami dari Abu Hurairah).

Hikmah Puasa
Banyak sekali hikmah dari puasa, diantaranya sebagai berikut :
  • Meningkatkan kesadaran bertaqwa kepada Allah Swt
  • Meningkatkan derajat yang tinggi dan mulia
  • Menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh
  • Menjadikan diri semakin tabah dalam menghadapi segala cobaan
  • Menambah bersih, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah
  • Menahan nafsu dan meredam syahwat birahi, dan lain sebagainya.

Beberapa Nama Puasa Sunnah Selain Puasa Bulan Ramadhan:
1)           Puasa ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah
2)           Puasa Tasu’ah pada tanggal 9 Muharram
3)           Puasa ‘Asyuroh pada tanggal 10 Muharram
4)           Puasa 6 Hari pada bulan Syawwal
5)           Puasa Yaumul Bidh pada tanggal 13, 14, dan 15 Qamariyah
6)           Puasa Hari Senin
7)           Puasa Hari Kamis
8)           Puasa 8 Hari sebelum Puasa Arafah
9)           Puasa 8 Hari sebelum hari Tasu’ah
10)       Puasa Bulan yang Mulia, Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Bulan Muharram
11)       Puasa pada Hari Al-Layali as-Saud
12)       Puasa Bulan Sya’ban
13)       Puasa Nabi Dawud yakni sehari puasa, sehari tidak
14)       Puasa satu hari puasa, dua hari berbuka
15)       Puasa pada hari dimana tidak menemukan makanan

Shalat Sunnah
Sebagai seorang penuntut ilmu berusahalah untuk selalu melaksanakan ibadah shalat sunnah. Shalat sunnah itu ada yang dilakukan dengan berjama’ah, ada pula yang dilakukan sendiri (tidak berjama’ah). Yang dikerjakan berjama’ah diantaranya: shalat tarawih dan witir (Malam Ramadhan), shalat ‘iedul fitri, shalat ‘iedul ad-ha, shalat gerhana matahari dan bulan, shalat istisqa’ (minta hujan), dan lain sebagainya. Sedangkan yang dikerjakan sendiri tanpa berjama’ah, diantaranya: shalat rawâtib, shalat dhuha, shalat tahiyyatul masjid, shalat tahjjud, shalat hajat, shalat istikharah dan lain sebagainya. Shalat sunnah dibagi dua:
  1. Shalat Rawâtib
Shalat sunnah rawâtib, yaitu shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu yang lima, dikerjakan sebelum atau sesudah shalat fardhu. Jika dikerjakan sebelumnya dinamakan shalat sunnah qabliyyah, tapi jika dikerjakan sesudahnya dinamakan shalat sunnah ba’diyyah.
Beberapa shalat rawâtib yang sangat penting (muakkad) yang benar-benar dianjurkan; yaitu:
  •  2 rakaat sebelum shalat subuh,
  •  2 rakaat sebelum shalat dzuhur,
  •  2 rakaat sesudah shalat dzuhur,
  •  2 rakaat sesudah shalat maghrib, dan
  •  2 rakaat sesudah shalat isya’.
Disamping itu masih ada shalat rawâtib yang lain (ghairu muakkad), yaitu :
  •  2 rakaat sebelum dan sesudah dzuhur
  • Sebelum shalat ‘ashar 2 atau 4 rakaat (dengan hanya sekali salam)
  • Sebelum shalat maghrib 2 rakaat.
  1. Shalat Nawâfil
Yaitu shalat-shalat sunnah yang berdiri sendiri, tidak mengiringi shalat fardhu yang lima. Sunnah nawâfil ini banyak sekali macamnya, misalnya:
  • Shalat hari raya (‘iedul fitri dan ‘iedul ad-ha)
  •  Shalat gerhana (Kusuf = gerhana matahari dan Khusuf = gerhana bulan)
  • Shalat meminta hujan (istisqa’)
  • Shalat tahiyyatul masjid
  • Shalat dhuha
  • Shalat safar
  • Shalat istikharah
  • Shalat syukrul wudhu (sesudah berwudhu, sebagai tanda syukur kepada Allah)
  • Shalat hajat
  • Shalat malam (qiyaamullail)
Dikatakan Qiyamullail karena dikerjakan pada waktu malam hari saja. Untuk menamakan shalat malam ini ada 3 macam :
1)      Shalat tarâwih, jika dilakukan malam hari Bulan Ramdhan yang diakhiri dengan shalat witir (shalat yang ganjil rakaatnya).
2)      Shalat tahajjud, dilakukan tengah malam setelah tidur sebelum datang waktu shalat subuh.
3)      Shalat witir, yaitu dikerjakan keseluruhan shalat malam sebab jumlah rakaatnya ganjil.

Baiklah, di dalam buku ini saya hanya menerangkan salah satu dari Ibadah Qiyamullail, yaitu Shalat Tahjjud saja. Karena, shalat tahajjud ini sangat luar biasa sekali manfaatnya bila dikerjakan oleh seorang penuntut ilmu dengan istiqamah. Karena disana kita diharuskan untuk beristighfar, membaca salawat serta berdoa. Dengan shalat tahajjud kita dapat melatih diri dan banyak lagi hikmahnya. Diantara hikmahnya yaitu, bisa mendatangkan ketenangan hati, sabar, bisa muhâsabtun an-nafsi (introspeksi diri) dalam menuntut ilmu, dan lain sebaginya.

Shalat Tahjjud
Shalat tahajjud dilakukan malam hari. Namun sebaiknya dilakukan tengah malam atau pada dua pertiga malam dan dilakukan setelah bangun dari tidur sebelum datangnya fajar——waktu subuh.
Sekalipun shalat tahajjud ini hukumnya sunnah, tetapi rasulullah Saw tidak pernah meninggalkannya. Setiap malam hari beliau mengerjakan shalat tahajjud itu sehingga tampak kaki beliau bengkak karena lamanya beliau berdiri dalam shalat. Dikisahkan bahwa ketika beliau mengerjakan ibadah shalat tahajjud pada setiap rakaat setelah membaca surat al-Fatihah beliau membaca surat Al-Qur’an yang panjang-panjang seperti surat al-Baqarah dan lain-lain. Jadi disunnahkan ketika melaksanakan shalat tahajjud hendaknya membaca surat dalam Al-Qur’an yang panjang-panjang. 
Sebagai seorang mukmin lebih-lebih penuntut ilmu hendaknya mengikuti teladan rasulullah Saw untuk mendapatkan pahala serta hikmahnya shalat tahjjud. Beliau saja seorang yang di ma’shum——terpelihara dari dosa atau kesalahan—masih mengerjakan, apalagi kita sebagai manusia biasa dan sebagai umatnya.
Firman Allah Swt dalam QS. al-Isra’ Ayat. 79 :
      “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai uatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS.Al-Isrâ’: 79)
Dan keutamaan orang yang bangun malam untuk melaksanakan shalat sunnah walau hanya dua rakaat, pahalanya seperti orang membaca dzikir kepada Allah Swt dengan banyak.
Sabda nabi Saw:

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كَتَبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اﷲَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ (رواه ابن حبّان عن أبى سعيد
            “Apabila seorang laki-laki (suami) bangun tidur pada malam hari dan membangunkan keluarganya (istri) kemudian keduanya shalat dua rakaat maka keduanya dicatat sebagai orang yang berdzikir banyak kepada Allah”.            (HR. Ibnu Hibban dari Abi Sa’id).

Membaca Al-Qur’an
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia.
Al-Quran merupakan pedoman sekaligus menjadi dasar hukum bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an berisi ajaran, petunjuk dan informasi yang sangat lengkap. Mulai dari masalah aqidah, ibadah, dan syari’ah. Hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam lingkungannya. Di samping itu dikemukakan pula pahala bagi orang-orang yang beramal saleh, dan ancaman berupa siksa yang sangat pedih bagi orang-orang yang berbuat dosa.
Jika kita berpedoman kepada Al-Qur’an yang isinya sangat lengkap, kita yakin akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Perlu diketahui bahwa dengan membaca Al-Qur’an saja sudah merupakan ibadah, apalagi mengamalkan isinya. Sebagai pemeluk Islam sudah semestinya sering-sering membaca Al-Qur’an dan berusaha mengamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Rasulullah Saw bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا كِتَابَ اﷲِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ (رواه البخاري ومسلم
            “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang apabila kamu berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selamanya yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah rasul-Nya”. (HR. Bukhari Muslim)
Sebagai umat Islam, apa lagi penuntut ilmu, seyogyanya selalu membaca Al-Qur’an, minimal sehari satu juz agar tiap bulan mengkhatamkan Al-Qur’an. Rasulullah Saw menganjurkan umat muslim untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an agar terhindar dari kejahatan dan bebas dari perasaan cemas.

أَكْثِرُوْا مِنْ تِلاَوَةِ اْلقُرْآنِ فِيْ بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ اْلبَيْتَ الَّذِي لاَيُقْرَأُ فِيْهِ اْلقُرَآنُ يَقِلُّ خَيْرُهُ وَيَكْثُرُ شَرُّهُ، وَيَضِيْقُ عَلَى أَهْلِه ِ(رواه الدارقطنى عن أنس
“Perbanyaklah oleh kamu sekalian (umat muslim) membaca Al-Qur’an di rumah-rumah kalian, karena sesungguhnya di dalam rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an, maka sedikit kebaikanya dan banyak kejelekannya dan         menyempitkan kepada penghuninya”. (HR. Daruqutni dari Anas r.a)

Rasulullah Saw juga mengibaratkan keutamaan dan ketinggian derajat orang-orang yang membaca Al-Qur’an laksana buah utrujah——baunya harum dan rasanya lezat. Sungguh luar biasa keutamaan-keutamaan orang yang membaca Al-Qur’an al-Kariem.
Sabda rasulullah Saw:

إِذَا خَتَمَ اْلعَبْدُ اْلقُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلْفَ مَلَكٍ (رواه الديلمي عن عمروبن شعيب
            “Apabila seorang hamba mengkhatamkan (membaca) Al-Qur’an maka enam        puluh ribu malaikat membaca salawat kepadanya ketika ia mengkhatamkan-      Nya’. (HR. Daelami dari ‘Amr Bin Syu’eb). 

Bersalawat Kepada Nabi Saw

            “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk nabi[2]. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk nabi dan   ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”[3]. (QS. Al-Ahzab: 56).

Rasulullah adalah manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Allah Swt untuk disampaikan kepada umatnya. Dengan berbagai upaya rasulullah menuntun umatnya agar mau mengikuti petunjuknya menuju jalan yang diridhai Allah.
Dalam menjalankan tugasnya, rasulullah Saw mengalami berbagai rintangan. Namun semua beliau hadapi dengan sabar. Semua usahanya dilakukan dengan ikhlas. Segala kepentingan yang sifatnya pribadi beliau kesampingkan. Beliau selalu mementingkan umat manusia.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Anbiyâ’ ayat 107 :


         “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiyâ’: 107)

Atas jasa rasulullah Saw manusia terangkat martabatnya dari alam yang gelap gulita kepada alam yang terang-benderang. Dari masyarakat jahiliyah kepada masyarakat yang beradab. Itulah nikmat yang teramat besar yang kita rasakan saat ini. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada rasulullah Muhammad Saw. Ungkapan atas perwujudan dari rasa terima kasih kita kepada rasulullah adalah taat kepadanya. Dan Allah pun memerintahkan kepada kita agar menaati Allah dan menaati rasul-nya. Perintah menaati Rasul tidak terpisahkan dari perintah menaati Allah. Jika menaati rasul berarti menaati Allah.
Cara-cara menaati rasulullah Saw antara lain :
  • Meyakini dengan sepenuh hati, bahwa perintah rasulullah adalah perintah Allah yang juga wajib kita taati.
  • Melaksanakan dengan ikhlas semua yang diperintahkan rasulullah dan meninggalkan semua larangannya.
  • Mematuhi hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh rasulullah Saw.
  • Mencontoh perilaku rasulullah dalam segala aspek kehidupan.
  • Mengerjakan sesuatu yang dianjurkan oleh rasulullah.
  • Menjauhi segala perbuatan yang dibenci oleh rasulullah.
  • Boleh mengerjakan perkara yang tidak dilarangnya dan boleh meninggalkan perkara yang tidak diperintahkannya.

Sebagai manusia yang tahu diri hendaknya kita berusaha melaksanakannya. Hendaknya kita mencintai rasulullah dan mencitai Allah.[4] Demikian halnya cinta kepada rasulullah tidak cukup hanya dengan ucapan lisan saja. Akan tetapi harus dibarengi dengan amal yang nyata.
Adapun salah satu cara mencintai rasulullah Saw adalah dengan kita memperbanyak membaca salawat kepada beliau. Kita ketahui bahwa banyak sekali bacaan-bacaan salawat yang tujuannya tidak lain untuk mengagungkan beliau. Dengan memperbanyak membaca salawat kita mendapatkan pahala serta hikmah-hikmahnya, yang diantaranya kita mendapatkan ketenangan hati.
Rasulullah Saw bersabda :

أَتَانِي آتٍ مِنْ عِنْدِرَبِّي عَزَّوَجَلَّ فَقَالَ:مَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مِنْ أُمَّتِكَ صَلاَةً كَتَبَ اﷲُلَهُ ِبهاَ عَشَرَحَسَنَاتٍ وَمَحَا عَنْهُ عَشَرَ سَيئَاتٍ وَرَفَعَ لَهُ عَشَرَ دَرَجَاتٍ، وَرَدَّ عَلَيْهِ مثْلهَا (رواه أحمد عن أبى طلحة)
“Telah datang kepadaku (malaikat jibril) dia berkata:”siapa saja yang membaca salawat satu kali kepadamu maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan, menghapus 10 kejelekannya, Allah mengangkatnya 10 derajat, dan Allah membalas salawatnya”. (HR. Ahmad dari Abi thalhah).

Rasulullah Saw memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak salawat kepada beliau, karena membaca salawat menjadikan ampunan dosa-dosa kita. 

أَكْثِرُوْا الصَّلاَةَ عَلَيَّ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ عَلَيَّ مَغْفِرَةٌ لِذُنُوْبِكُمْ، وَاطْلُبُوْا إِلَيَّ الدَّرَجَة وَ الْوَاسِيْلَةَ، فَإِنَّ وَسِيْلَتِي عِنْدَ رَبِّي شَفَاعَةٌ لَكُمْ (رواه ابن عساكر عن الحسن بن علي
“Perbanyaklah oleh kalian membaca salawat kepadaku, karena sesungguhnya bacaan salawat kalian kepadaku adalah ampunan untuk dosa-dosa kalian, dan carilah keutamaan dan wasilah (hubungan) kepadaku, karena sesungguhnya berhubungan denganku adalah syafa’at bagi kalian   disisi Allah”. (HR. Ibnu ’Asakr dari Hasan Bin ‘Ali).
Dan untuk membuktikan rasa cinta kita kepada rasulullah. Marilah kita memperbanyak membaca salawat kepadanya. Dengan harapan semoga kita mendapatkan syafaat———pertolongan—beliau pada hari akhir nanti. Amin Allahumma Amin.

Istiqamah

اْلإِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ كَرَامَةٍ 
“Istiqamah itu lebih baik dari pada seribu karamah”. (Imam Ghazali)

Sungguh hebat derajat istiqamah melebihi dari seribu karamah. Memang apa istiqamah dan karamah itu?”
Kata Istiqamah berasal dari kata إِسْتَقَامَ, artinya mempunyai pendirian yang mantap——tegak lurus—dan teguh. Secara umum istiqamah berarti bersikap berpegang teguh kepada sesuatu yang diyakini kebenarannya, dan ia tidak mau merubah keyakinannya itu dalam keadaan bagaimanapun, baik ia dalam keadaan susah atau senang, dalam keadaan sendiri atau ketika bersama dengan orang lain.
Sikap istiqamah——teguh dalam pendirian—akan mewarnai sikap seorang muslim, pendiriannya tidak mudah goyah, dan tidak mudah berubah. Jika seorang penuntut ilmu bersikap seperti itu mengerjakan kewajibannya sebagai penuntut ilmu dengan keteguhan hati dan berpendirian yang kuat pastilah akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Istiqamah terbagi lima macam, yaitu:
1)      Istiqamah lidah, tetap ingat (dzikir kepada Allah) dengan mengucapkan syukur atas segala nikmatnya.
2)      Istiqamah badan, membiasakan diri kita menaati segala perintah Allah (taqwa), memiliki perasaan malu kepada Allah.
3)      Istiqamah hati, senantiasa takut kepada Allah, tidak berputus asa, baik ketika waktu sehat maupun dalam waktu sakit, dan husnudzan (baik sangka) kepada Allah.
4)      Istiqamah jiwa, selalu benar dan suci jiwa dari kenistaan.
5)      Istiqamah hidup, seluruh hidup kita ditujukan untuk memperoleh kemuliaan dari Allah.

Dengan cara yang dikemukakan di atas pasti kita akan mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Firman Allah Swt:

          “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:"Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:"Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat: 30).
Ayat di atas menyatakan bahwa orang yang teguh pendiriannya mengakui hanya Allah sebagai Tuhannya, serta akan mendapat ketenangan hidup, hilang rasa takut, sedih, putus asa, dan lain sebagainya.
Jadi, kita sebagai umat Islam harus mempunyai keteguhan hati dalam meyakini kebenaran agama Islam. Lebih dari itu, sebagai penuntut ilmu agama yang menjadi pewaris para nabi dan rasul.
Secara umum istiqamah sudah dijelaskan di atas yang pada intinya mengerjakan suatu pekerjaan yang baik (benar) dengan keteguhan hati dan terus menerus untuk mencari keridhaan Allah Swt. Seorang penuntut ilmu yang tekun belajar dengan mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti membaca, menghafal, diskusi, dan beribadah, serta berdoa dengan terus-menurus untuk mencapai tujuan dengan tetap mengharapkan keridhaan Allah Swt. Istiqamah bukan berarti seseorang mengerjakan pekerjaan yang baik dengan macam-macam pekerjaan (banyak bekerja), akan tetapi selanjutnya tidak mengerjakan sama sekali. Walaupun pekerjaan yang baik——benar—itu seolah-olah biasa, tapi dikerjakan dengan kontinue itulah istiqamah. Dan sungguh luar biasa jika kita mendapatkan derajat istiqamah tersebut.
Rasulullah Saw, bersabda :

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلىَ اﷲِأَدْومُهَا وَإِنْ قَلَّ (رواه الشيخان عن عائشة
“Pekerjaan-pekerjaan (yang baik) yang lebih disukai Allah adalah pekerjaan yang terus-menerus (dawwam) dikerjakan walaupun pekerjaan itu     sedikit”.
(HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah). 

Berbicara mengenai ucapan Imam Ghazali di atas, cukup menarik untuk dikaji. Tentang derajat istiqamah yang lebih baik dari seribu karamah. Dan yang menarik disini adalah lebih baik dari seribu karamahnya. Kemudian apa derajat karamah itu?
Sebelum membahas lebih lanjut tentang karamah mungkin kita pernah tahu pada pelajaran Aqidah, bahwa pada sebagian rasul-rasul memiliki kelebihan dan keistimewaan atau yang disebut dengan Mu’jizat, yang mempunyai arti suatu kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang dapat melemahkan segala usaha dan alasan orang kafir. Mu’jizat tidak dapat dipelajari. Dan mu’jizat datang seketika tidak direncanakan. Dan pada dasarnya mu’jizat berfungsi untuk melemahkan usaha-usaha orang yang akan menentang seruan para rasul. Dan mu’jizat sebagai bukti kebenaran bahwa rasul benar-benar dipilih Allah.
Mu’jizat ada dua macam, pertama Mu’jizat Kauniyah. Yaitu mu’jizat yang tampak, dapat ditangkap oleh panca indera, sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Nabi Musa a.s. tongkat berubah menjadi ular. Mu’jizat ini ada yang menyebut mu’jizat terbatas. Kedua, Mu’jizat Aqliyah. Yaitu mu’jizat yang hanya dapat difahami oleh akal pikiran, seperti mu’jizatnya Nabi Muhammad Saw, yaitu Al-Qur’an. Keluarbiasaannya adalah dari segi sastranya. Tidak ada seorang pun yang dapat menandinginya. Mu’jizat seperti ini ada yang menyebutnya mu’jizat tidak terbatas. Dan disini saya tidak menceritakan semua kisah-kisah rasul yang mendapatkan mu’jizat-mu’jizat tersebut.
Selanjutnya kejadian luar biasa selain mu’jizat adalah karamah. Inti dari pembahasan kita mangenai keistimewaan istqamah. Karamah berarti kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang saleh dan taat kepada-Nya. Orang saleh yang tinggi ketaatannya kepada Allah disebut Wali Allah (kekasih Allah). Dengan kata lain kejadian luar biasa tersebut diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.
Dari penjelasan-penjelasan itu kita dapat mengetahui adanya perbedaan serta persamaan antara mu’jizat dengan karamah. Adapun perbedaan itu adalah mu’jizat hanya diberikan kepada nabi dan rasul saja, sedangkan karamah diberikan kepada selain nabi dan rasul. Kemudian fungsi mu’jizat bagi nabi dan rasul yaitu untuk membuktikan kenabian dan kerasulannya, sekaligus untuk melemahkan orang-orang kafir yang bermaksud jahat. Dan karamah diberikan Allah kepada orang mukmin yang saleh berfungsi untuk melindungi mereka dari bahaya atau hal-hal yang tidak menyenangkan. Adapun persamaan antara mu’jizat dan karamah yaitu sama-sama datang dan atas kehendak Allah Swt. Kemudian sama-sama merupakan kejadian luar biasa yang sulit diterima oleh akal. Kejadiannya sama-sama tidak direncanakan, terjadi dengan tiba-tiba, tidak bisa dipelajari dan tidak bisa dikalahkan. Dan sama-sama diberikan untuk mengatasi problem dan menolong hamba-Nya.
Dan perlu diketahui salain itu ada kejadian lain yang luar biasa tapi bukan atas pertolongan Allah melainkan pertolongan syetan. Kejadian yang luar biasa itu adalah sihir. Sihir biasanya digunakan untuk maksud-maksud jahat. Sihir dapat dipelajari akan tetapi sihir dapat dikalahkan.
Setelah kita ketahui penjelasan-penjelasan tersebut jelas menyatakan bahwa derajat istiqamah memang sangat luar biasa. Sebagai penuntut ilmu mari kita berusaha belajar yang baik dan istiqamah. Semoga kita mendapatkan derajatnya. Amin.
Ulama yang lain berkata bahwa istiqamah adalah konsisten dengan ketaatan pada Allah.
Rasulullah Saw, mengabarkan bahwasanya manusia tidak akan bisa untuk istiqamah dengan sebenar-benarnya istiqamah. Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi Saw bersabda: “Lakukanlah semisalnya dan dekatilah.” Melakukan sebagaimana yang rasulullah Saw lakukan adalah hakikat istiqamah. Seperti melemparkan sesuatu dan tepat pada sasaran. Berusaha mendekati maksud dan sasaran itu walau tidak tercapai, usaha tersebut harus tetap dilandaskan pada kesungguhan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Istiqamah yang paling utama adalah istiqamahnya hati dalam bertauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan lainnya tentang firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan;”Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka; yaitu mereka tidak berpaling kepada selain Allah.
Hati yang istiqamah dalam cinta, takut, harap dan tawakkal akan memengaruhi semua anggota tubuh untuk istiqamah pada-Nya. Karena hati adalah raja dalam tubuh sedangkan anggota tubuh adalah tentaranya akan turut istiqamah pula. Setelah hati, lisan juga sangat perlu untuk diistiqamahan karena lisan inilah yang mengungkapkan isi hati. Oleh karena itu. Nabi Saw, bersabda: “iman seorang hamba tak akan lurus sampai hatinya istiqamah dan hati tak akan istiqamah sampai lisan istiqamah”.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:”janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).


[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, 2007, Hal. 469
[2] Bersalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ‘ala Muhammad.
[3] Dengan mengucapkan perkataan seperti: Assalamu'alaika ayyuhan nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai nabi.

[4] Cinta menyebabkan orang mau berbuat apa saja demi yang dicintainya. Cinta kepada Allah   menyebabkan manusia ikhlas mengerjakan  apa yang diridhai-Nya.