Sabtu, 06 November 2010

KONSEP PEMBAHARUAN PENDIDIKAN K.H. IMAM ZARKASYI

A. BIOGRAFI SINGKAT K.H. IMAM ZARKASYI
K.H. Imam Zarkasyi lahir di desa Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M. Belum genap usia beliau 16 tahun, Imam Zarkasyi muda mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegal sari. Setelah menyelesaikan studi di Sekolah Ongkoloro (1925), beliau melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama beliau juga belajar di Sekolah Mamba’ul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh K.H. M. O. Al-Hisyami, sampai tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut (terutama Sekolah Arabiyah Adabiyah) beliau  sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab.
Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan mengarahkan Imam Zarkasyi adalah al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat, sampai tahun 1935.
Setelah tamat belajar di Kweekschool, beliau diminta menjadi direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), dengan pertimbangan meskipun jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi yang dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Di samping itu, kakaknya Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.
Setelah menyerahkan jabatannya sebagai direktur Pendidikan Kweekschool kepada Mahmud Yunus, Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatu-l Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya.
Selanjutnya pada tahun 1943 beliau diminta untuk menjadi kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Pada masa pendudukan Jepang, beliau pernah aktif membina dan menjadi dosen di barisan Hizbullah di Cibarusa, Jawa Barat. Setelah Indonesia merdeka, Imam Zarkasyi juga aktif dalam membina Departemen Agama R.I. khususnya Direktorat Pendidikan Agama yang pada waktu itu menterinya adalah Prof.Dr.H.M.Rasyidi. Tenaga dan pikirannya juga banyak dibutuhkan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika Ki Hajar Dewantoro menjabat sebagai menterinya.
Jabatan-jabatan penting lainnya yang diduduki Imam Zarkasyi di tengah kesibukannya sebagai pendidik di Lembaga Pendidikan Gontor adalah sebagai Kepala Seksi Pendidikan Kementerian Agama dari anggota Komite Penelitian Pendidikan pada tahun 1946. Selanjutnya selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu dipegang oleh K.H.E.Z. Muttaqin. dan selanjutnya beliau menjadi penasehat tetapnya.
Imam Zarkasyi juga pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pendidikan Agama pada Sekolah Dasar Kementerian Agama (1951-1953), Kepala Dewan Pengawas Pendidikan Agama (1953), Ketua Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) Departemen Agama, Anggota Badan Perencana Peraturan Pokok Pendidikan Swasta Kementerian Pendidikan (1957). Selain itu pada tahun 1959, Imam Zarkasyi diangkat menjadi Anggota Dewan Perancang Nasional oleh Presiden Soekarno.
Dalam percaturan internasional, Imam Zarkasyi pernah menjadi anggota delegasi Indonesia dalam peninjauan ke negara-negara Uni Soviet, pada tahun 1962. Sepuluh tahun kemudian, ia juga mewakili Indonesia dalam Mu’tamar Majma’ Al-Bunuth al-Islamiyah (Mu’tamar Akademisi Islam se-Dunia), ke-7 yang berlangsung di Kairo. Di samping itu, ia juga menjadi Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat.
Pada tanggal 30 April 1985 pukul 21.00 WIB beliau meninggal dunia di Rimah Sakit Umum madiun.beliau meninggalkan seorang istri dan 11 orang putra-putri.
Selain dikenal sebagai aktivis dalam bidang pendidikan, sosial dan politik kenegaraan, Imam Zarkasyi juga ternyata seorang ulama yang produktif dalam bidang tulis-menulis. Dalam kaitan ini, beliau banyak sekali meninggalkan karya ilmiah yang hingga saat ini masih dapat dinikmati. Ini sesuai dengan niatan beliau pada awwal dibukanya KMI tahun 1936, beliau berkata: “seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.”
Di antara karya tulis Imam Zarkasyi adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam. Ketiga buku tersebut ditulis bersama K.H. Zainuddin Fannani. Selanjutnya ia menulis Ushuluddin (pelajaran Aqo’id atau Keimanan), Pelajaran Fiqih I dan II, Pelajaran Tajwid, Bimbingan Keimanan, Qowaidul imla’, Pelajaran Bahasa Arab I dan II berikut kamusnya, Tamrinat I, II dan III, beserta kamusnya dan buku-buku pelajaran lainnya.
Selain itu Imam Zarkasyi juga menulis beberapa petunjuk teknik bagi para santri dan guru di Pondok Darussalam Gontor dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan di pesantren tersebut, termasuk metode mengajar beberapa mata pelajaran. Buku-buku karangan beliau hingga kini masih dipakai di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor dan pondok-pondok pesantren alumni Gontor serta beberapa sekolah agama.
B. GAGASAN DAN CITA-CITA PEMBAHARUAN K.H. IMAM ZARKASYI
Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren adalah model pendidikan Islam yang banyak dipakai dan berlaku di beberapa negara Islam. Namun, di Indonesia lembaga pendidikan pesantren kurang mengalami kemajuan dikarenakan situasi penjajahan. Sebelum mendirikan lembaga pendidikan Pesantren dengan corak yang modern, K.H. Imam Zarkasyi bersama pendiri Pondok Gontor lainnya telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kaji dalam rangka studi banding yang kemudian dikenal sebagai “Sintesa Pondok Modern”.
Pertama, Universitas Al-Azhar di Mesir, merupakakan sebuah lembaga pendidikan swasta, dengan kekayaan wakafnya yang luarbiasa, mampu bertahan bahkan berperan dalam apapun dalam perubahan waktu dan massa. Al-Azhar ini bermula dari sebuah masjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, Pondok Syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga ini dikenal karena kedermawanan dam keikhlasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dari pengasuhnya di samping mendidik murid-muridnya, juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarh yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Universitas ini dikenal sebagai pelopor pendidikan modern dan revival of Islam. Keempat, masih juga di India, yaitu Perguruan Shantiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini terkenal karena kedamaiannya, dan meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan dapat mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk Pondok Pesantren Darussalam Gontor.
Keempat lembaga pendidikan yang dikaji itu selanjutnya menjadi idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan per paduan atau sintesa dari Keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong mazhab Ahlussunah waljama’ah yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia.
Selain itu, gagasan untuk memberikan warna baru terhadap Gontor juga diilhami oleh peristiwa dari Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya yang dilaksanakan pada pertengahan tahun 1926. Kongres tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia seperti HOS. Cokroaminoto, Mas Mansyur, H. Agus Salim, dan lain-lain. Dalam kongres tersebut diputuskan agar ummat Islam Indonesia mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diadakan di Mekkah. Namun yang menjadi masalah adalah di sekitar siapa yang ditunjuk menjadi utusannya. Sedangkan kriteria utusan yang dapat hadir adalah orang yang mahir sekurang-kurangnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari sekian banyak peserta muktamar, tak seorang pun yang memiliki kemampuan kedua bahasa tersebut. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu HOS Cokroaminoto yang menguasai bahasa Inggris dan K.H. Mas Mansyur yang menguasai bahasa Arab.
Peristiwa tersebut memberikan kesan mendalam kepada K.H. Ahmad Sahal yang hadir sebagai peserta dalam kongres tersebut. Kesan-kesan itu menjadi topik diskusi serius bersama K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Zainuddin Fannani, dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga pendidikan yang akan dibina pada waktu-waktu selanjumya. Sejalan dengan ini, K.H. Imam Zarkasyi kemudian mencita-citakan bahwa pesantren Gontor nantinya akan menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mampu mencetak kader-kader Muslim yang mahir dalam bahasa Arab dan Inggris sekaligus.
Namun demikian, K.H. Imam Zarkasyi memiliki pandangan bahwa hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menemukan filsafat hidup para santrinya. Pada seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan Panca Jiwa Pondok Modern. Kelima jiwa ini adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help); ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas. Yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih pamrih (tidak karena didorong keinginan untuk memperoleh keuntungan tertentu), semata mata untuk ibadah karena Allah. Sedangkan yang dikehendaki dengan jiwa kesederhanaan adalah bahwa dalam kehidupan di pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan, tetapi tetapi agung. Sederhana bukan berarti pasif atau narimo (pasrah), dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian, di balik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur. Sementara itu yang dimaksud dengan kesanggupan menolong diri sendiri adalah berdikari, bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasih orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ukhuwah Islamiyah adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren harus diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab, sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan saja selama berada dalam pondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas. Selanjutnya yang dimaksud dengan jiwa bebas adalah bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menemukan masa depan. Para santri harus bebas menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan. Jiwa inilah yang dibawa oleh santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di Masyarakat. Dan jiwa Pondok Pesantren inilah yang harus senantiasa dihidupkan, dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Selain prinsip dan jiwa tersebut di atas, K.H. Imam Zarkasyi juga memiliki pandangan bahwa pada masa kemerdekaan pondok pesantren sudah seharusnya menatap ke masa depan yang lebih jauh untuk mempertahankan kebemdaannya. Untuk itu dipadukan beberapa sikap dasar. Pertama, senantiasa memperhatikan perkembangan zaman, dan untuk ini pelajaran yang diberikan di pondok pesantren harus disesuaikan dengan masa depan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan didaktik dan metodik yang menguntungkan pula, tanpa harus mengubah inti ajaran agama. Kedua, jika diperlukan pondok pesantren dapat terus mempertahankan kehidupannya dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meninggikan mutu pendidikan dan pengajarannya. Ketiga, pondok pesantren jangan melupakan program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi. Diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup matinya kyai pendiri pesantren tersebut. Untuk memelihara kelangsungan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantikannya. Keempat, perlunya tata cara penyelenggaran pondok pesantren dengan sebaik-baiknya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya memperbaharui keadaan penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren yang pada umumnya bersifat tradisional Dengan demikian, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pondok pesantren dapat diatur dengan sebaik-baiknya dan seefisien mungkin, termasuk di dalamnya batas-batas hak dan kewajiban kyai, para santri dan pondok Pesantren itu sendiri.
Langkah-langkah itulah yang dinilai oleh K.H. Imam Zarkasyi sebagai dasar yang dapat menjamin kelangsungan dan perkembangan sebuah lembaga pendidikan pesantren di masa mendatang. Pikiran-pikiran ituah yang diterapkan oleh Imam Zarkasyi di lembaga pendidikan yang dipimpinnya, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
C. KONSEP PENDIDIKAN K.H. IMAM ZARKASYI
K.H. Imam Zarkasyi bersama dengan dua orang saudaranya merintis suatu lembaga pesantren yang bercorak modern sehingga dapat dikategorikan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi konsep pembaharuan pemikiran K.H. Imam Zarkasyi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren. Keempat konsep pembaharuan Pemikiran Imam Zarkasyi ini dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut:
C.1. Pembaharuan Metode dan sistem Pendidikan
Walaupun Gontor dinilai sangat konsekwen memegang ajaran az-Zarnuji tetapi sistem pengajaran dan pendidikan berbeda. Dalam hal ini az-Zurjani mengenalkan sistem “individual” dan cara “halaqah”. Dan hal ini bertentangan dengan metode dan sistem pendidikan yang diterapkan di Gontor yaitu sistem pendidikan “klasikal” yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Sistem “klasikal” ini dinilai sebagai bentuk pembaharuan dikarenakan sistem pendidikan dan pengajaran berbeda dengan pesantren model lama. Hal ini ditempuh oleh Imam Zarkasyi dalam rangka menerapkan efisiensi dalam pengajaran, dengan harapan bahwa dengan biaya dan waktu yang relatif sedikit dapat menghasilkan produk yang besar dan bermutu. Keinginan untuk memperbaiki prosedur-prosedur pengajaran agar menjadi lebih efektif, tidak dapat tidak menghendaki adanya sejumlah perombakan terhadap sistem pengajaran yang selama ini dianut oleh pesantren tradisional.
Di samping dengan menggunakan sistem “kasikal”, Imam Zarkasyi juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam kaitan ini para santri memiliki kegiatan lain di luar jam pelajaran, seperti olahraga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramuka dan organisasi pelajar. Semuanya ini dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler dalam wadah sistem pesantren yang diselenggarakan oleh santri sendiri (student government). Dalam mengerjakan semua aktivitas itu, santri diharuskan tetap tinggal di pondok pesantren (boarding school).
Sistem asrama (pesantren), tetap dipertahankan oleh K.H. Imam Zarkasyi, karena selain untuk tidak meninggalkan ciri khas pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih efisien dan efektif.
Sehubungan dengan pencapaian tujuan dan berjalannya sistem pendidikan tersebut, maka di Gontor jam-jam belajar diatur secara ketat, bahkan untuk ini para santri tidak diperkenankan memasak sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat waktu. Kegiatan para santri sehari-hari diawali dengan bangun pagi, sembahyang subuh secara berjamaah dan membaca al-Qur`an. Usai mengaji dilanjutkan dengan latihan berbahasa lnggris yang dilakukan oleh para tutor (baca: pengurus), yaitu para santri senior. Setelah itu para santri segera harus menyiapkan waktu untuk belajar di kelas, mulai dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30 dengan istirahat sebanyak dua kali. Keluar dari kelas semua santri harus shalat Dzuhur berjamaah di Masjid, dilanjutkan dengan makan siang. Pukul 14.00 tepat bel berbunyi lagi untuk menandai kegiatan pelajaran kelas yang kedua kalinya bagi santri kelas IV ke bawah yang dibimbing oleh santri senior (baca: kelas V dan VI) selama satu jam.  Setelah shalat Ashar berjamaah santri baru diperbolehkan melakukan kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, kesenian, keterampilan dan sebagainya. Untuk ini mereka bebas memilih kegiatan sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya masing-masing.
Pola dan irama kegiatan pesantren yang demikian padat itu terus berlangsung di Pondok Modern Gontor hingga saat ini, dan hal itu berlangsung secara alamiah dengan disiplin yang ketat, tanpa ada peraturan tertulis. Dalam pandangan K.H. Imam Zarkasyi, peraturan harus diproses menjadi bagian dari kualitas kesadaran, pikiran dan naluri atau dlomir (baca: hati kecil) yang seharusnya dijadikan pedoman santri untuk membangun kehidupan sosialnya di dalam pesantren. Perpaduan antara day school system dengan sistem asrama yang diterapkan K.H. Imam Zarkasyi secara sekilas memang kelihatan menghilangkan satu elemen penting dalam tradisi sistem pendidikan pesantren, yaitu pengkajian kitab-kitab Islam klasik yang sering disebut Kitab Kuning. Namun dalam kenyataan kesan dan asumsi ini tidak tepat. Karena yang dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi hanya menyangkut metode pengajaran di kelas-kelas. Sedangkan esensi pelajaran agama yang menjadi inti kitab kuning itu tetap ada dan dikemas sedemikian rupa dalam buku-buku yang lebih praktis dan sistematis serta disesuaikan dengan jenjang pendidikan para santri. Pada saatnya nanti, setelah para santri memasuki jenjang pendidikan terakhir, mereka diberi kesempatan untuk membongkar dan memahami kumpulan kitab-kitab kuning dalam jumlah besar dari berbagai disiplin ilmu agama. Dengan bekal bahasa Arab yang dimiliki sejak kelas satu, para santri diharapkan sudah dapat membaca dan memahami kitab-kitab tebal itu dengan sendirinya, tanpa harus dibantu diterjemahkan oleh kyai sebagaimana yang lazimnya dilakukan pada metode sorogan atau wetonan yang dilakukan pesantren tradisional. Program yang diterapkan oleh K.H. Imam Zarkasyi itu diberi nama Program Fathul Kutub (baca: membuka buku-buku).
Di samping itu, K.H. Imam Zarkasyi juga menganjurkan agar para santri memiliki, membaca dan memahami kitab-kitab yang dipakai di pesantren tradisional. Kitab-kitab tersebut antara lain Fatbul Qarib, Fatbul Mu’in, I’anatul Thalibin dan sebagainya.
C.2. Pembaharuan Kurikulum
Konsep pendidikan Imam Zarkasyi selanjutnya adalah berkenaan dengan pembaharuan kurikulum. Kurikulum yang diterapkan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor adalah 100% agama dan 100% umum. Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqih, ushul fiqih yang biasa diajarkan di pesantren tradisional, K.H. Imam Zarkasyi juga menambahkan ke dalam kurikulum lembaga pendidikan yang diasuhnya itu pengetahuan umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti (berhitung, aljabar dan ilmu ukur), sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan sebagainya. Selain itu ada pula mata pelajaran yang amat ditekankan dan harus menjadi karakteristik lembaga pendidikannya itu, yaitu pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris. Penekanan bahasa ini memakai metode langsung (direct method). Pelajaran bahasa Arab lebih ditekankan pada penguasaan kosakata, sehingga para santri kelas satu sudah diajarkan mengarang dalam bahasa Arab dengan perbendaharaan kosa kata yang dimilikinya. Pelajaran ilmu alat, yaitu nahwu dan sharf diberikan kepada santri saat menginjak kelas II, yaitu ketika mereka sudah agak lancar berbicara dan memahami struktur kalimat. Bahkan pelajaran seperti Balaghah dan Adabullughah baru diajarkan pada saat santri menginjak kelas IV. Demikian halnya dengan bahasa Inggris, Grammar barn diajarkan ketika para santri menginjak kelas III, sedangkan materi bahasanya sudah diajarkan dari sejak kelas I.
Khusus pengajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) yang diarahkan kepada penguasaan bahasa secara aktif dengan ram memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, tekanan lebih banyak diarahkan pada pembinaan kemampuan anak untuk memfungsikan kalimat secara sempuma, dan bukan pada alat atau gramatika tanpa mampu berbahasa. Dalam penguasaan bahasa ini, K.H. Imam Zarkasyi menetapkan semboyan Al-kalimah al-wabidah fi alf jumlatin khairun min alfi kalimah fi jumlatin wabidah (kemampuan memfungsikan satu kata dalam seribu susunan kalimat lebih baik daripada penguasaan seribu kata secara hafalan dalam satu kalimat saja). Namun demikian kemampuan dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris serta berbagai pengetahuan tersebut  tetap harus didasarkan pada asas, jiwa dan kepribadian moral yang tinggi dan baik, seperti ikhlas, mandiri, sederhana dan sebagainya.
Untuk mendukung tercapainya moralitas dan kepribadian tersebut, kepada para santri diberikan juga pendidikan kemasyarakatan dan sosial yang dapat mereka gunakan untuk melangsungkan kehidupan sosial ekonominya. Untuk ini kepada para siswa diberikan latihan praktis dalam mengamati dan melakukan sesuatu yang ia perkirakan akan dihadapinya dalam hidupnya kelak di masyarakat. Segala sesuatu diorganisasi sedemikian rupa untuk membedakan gambaran realistik kepada siswa tentang kehidupan dalam masyarakat. Para siswa dilatih untuk mengembangkan cinta kasih yang mendahulukan kesejahteraan bersama daripada kesejahteraan pribadi, kesadaran pengorbanan yang diabdikan demi kesejahteraan masyarakat, khususnya umat Islam.
Sejalan dengan itu, maka di Pondok Modern Gontor diajarkan pelajaran ekstra seperti etiket atau tata krama yang berupa kesopanan lahir dan kesopanan batin. Kesopanan batin menyangkut akhlak dan jiwa, sedangkan kesopanan lahir termasuk gerak-gerik, tingkah laku, bahkan pakaian. Khusus untuk menopang kelangsungan hidup para santri dalam bidang ekonomi, diberikan pula pelajaran keterampilan seperti menyablon, mengetik, kerajinan tangan (dekorasi, letter, janur) dan sebagainya.
C.3. Pembaharuan Struktur dan Manajemen Pesantren
Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, K.H. Imam Zarkasyi dan dua saudaranya telah mewakafkan Pondok Pesantren Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendidikan pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi menjadi milik pribadi atau perorangan sebagaimana yang umumnya dijumpai dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Dengan cara demikian, secara kelembagaan Pondok Modern Gontor menjadi miliki ummat Islam, dan semua ummat Islam bertanggung jawab atasnya.
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di Pondok Gontor. Badan inilah yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan Wakaf, untuk ini Badan Wakaf memiliki lima program yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran, bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang kesejahteraan.
Dengan struktur kepengurusan yang demikian, maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apa pun dari Gontor. Kyai dan guru-guru juga tidak mengurusi uang dari para santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dengan santri yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodik bisa diganti. Dengan demikian, pengajaran jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif.
C.4. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren.
Sejalan dengan Panca Jiwa Pondok Modern Gontor, bahwa setiap santri ditanamkan jiwa agar berdikari dan bebas. Sikap ini tidak saja berarti bahwa santri belajar dan berlatih mengurusi kepentingannya sendiri serta bebas menemukan jalan hidupnya di masyarakat, tetapi juga bahwa pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan harus tetap independent dan tidak bergantung pada pihak lain. Prinsip kemandirian tersebut bertolak darn upaya menghindari dari kenyataan di mana kebanyakan lembaga pendidikan yang diselenggarakan pada waktu itu didasarkan pada kepentingan golongan dan politik tertentu.
Gagasan independen Imam Zarkasyi itu direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apa pun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan.
Selanjutnya untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian tersebut, di Gontor para santri diberi kebebasan memilih pilihan-pilihan mata pelajaran yang ada. Dalam pelajaran hukum Islam misalnya, kitab yang diajarkan adalah Bidayah al-Mujtahid karya Ulama Besar Ibn Rusyd yang hidup pada abad ke-12 M. Ulama yang dikenal sebagai komentator Aristoteles ini menulis bukunya dengan pendekatan kompantif (perbandingan mazhab). Hal ini merupakan salah satu cermin, di mana paham keagamaan para santri berada di atas semua golongan mazhab Ahlu Sunnah Waljama’ah. Dengan demikian, semua mazhab diajarkan kepada para murid tinggal terserah mereka mau memilih mazhab mana yang lebih cocok. Demikian pula dalam hal bacaan qunut yang sering diperdebatkan misalnya, para santri bebas apakah akan membaca qunut atau tidak.
Selanjutnya kemandirian pondok pesantren Gontor ini terlihat dari adanya kebebasan para santri yang bebas menentukan jalan hidupnya kelak. K.H. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan untuk dirinya sendiri.
D. KESIMPULAN
Demikianlah pembahasan tentang pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Setelah menyimak pembahasan ini, penulis menyimpulkan beberapa hal penting yang diambil dari gagasan pembaharuan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor, diantaranya:
  1. K.H. Imam Zarkasyi adalah salah satu pendiri Pondok Modern Gontor, beliau mengenalkan sistem “Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah” disamping itu beliau menilai bahwa selain kurikulum ada hal penting yang harus ada pada suatu pesantren, yaitu jiwa yang menjiwai kehidupan pondok pesantren tersebut, yang kemudian dikenal sebagai: Panca jiwa Pondok Modern, meliputi: Kelima jiwa ini adalah keikhlasan, kesederhanaan, kesanggupan menolong diri sendiri (self help); ukhuwah Islamiyah dan jiwa bebas.
  2. Pondok Modern adalah satu sistem pendidikan yang memadukan antara “model lama” (baca: individu atau halaqah) dan sistem “madrasah” (baca: klasikal)
  3. Konsep pembaharuan pendidikan K.H. Imam Zarkasyi dibagi ke dalam empat bidang, yaitu pembaharuan dalam bidang metode dan sistem pendidikan, kurikulum pesantren, struktur dan sistem manajemen pesantren serta pola pikir santri dan kebebasan pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar